Hidup Itu Singgah Sejenak dalam Arus Kesadaran dan Waktu
Kita sering mengira waktu adalah angka yang berlari di jam dinding, atau kalender yang tiap hari kita coret, seolah ia bisa dipegang, dihitung, lalu dipakai sebagai alat. Padahal waktu bukan sekadar angkaโia adalah arus yang terus bergerak, mengalir dari satu detik ke detik lain, membawa kita dari awal menuju akhir, dari lahir hingga kembali ke asal.
Kesadaran manusia adalah cermin yang menatap arus ini. Tanpa kesadaran, waktu hanya lewat, kosong, tanpa makna. Tapi begitu kesadaran hadir, setiap detik bisa menjadi saksi, bisa menjadi doa, bisa menjadi bekas yang abadi dalam jiwa. Maka hidup bukan sekadar berjalan dalam waktu, melainkan menari di atas arusnya, merasakan setiap getarannya.
Waktu: Alur yang Tak Bisa Digenggam
Bayangkan kita berdiri di tepi sungai. Airnya terus mengalir, deras, membawa dedaunan, ranting, bahkan cahaya yang memantul di permukaannya. Begitulah waktu. Kita tidak bisa menyimpan satu tetes air pun untuk selamanya, karena sungai harus terus bergerak. Kita hanya bisa menyelam sebentar, atau membasuh wajah, lalu air itu pergi, meninggalkan kita dengan rasa segar yang sementara.
Waktu adalah anugerah sekaligus beban. Anugerah, karena ia memberi kesempatan untuk berubah, untuk bertumbuh, untuk bertaubat, untuk mencinta. Beban, karena ia tak bisa diputar ulang, tak bisa dihentikan, dan selalu membawa kita mendekat kepada kepastian: kematian.
Namun, justru di sanalah letak makna: kita diberi waktu bukan untuk menggenggamnya, melainkan untuk mengisinya.
Kesadaran: Cermin Semesta
Kesadaran manusia bukan sekadar pikiran atau akal logis. Ia adalah cermin semesta, tempat di mana getaran alam raya memantul dan menemukan arti. Kesadaran membuat kita tahu bahwa kita sedang hidup. Kesadaran membuat kita sadar bahwa kita bisa kehilangan. Kesadaran pula yang membuat kita bisa merasakan duka, syukur, cinta, dan rindu kepada Sang Pencipta.
Tanpa kesadaran, waktu hanya lewat. Tapi dengan kesadaran, satu menit bisa jadi keabadian. Satu pertemuan bisa jadi selamanya tersimpan. Bahkan satu kata sederhana bisa jadi doa yang tak terhapus.
Singgah: Pepatah Jawa dan Resonansi Kosmik
Orang Jawa kuno punya pepatah:
โUrip Mung Mampir Ngombeโ โ Hidup hanya singgah sebentar untuk minum.
Betapa dalam makna pepatah ini. Seolah orang Jawa telah lama memahami bahwa hidup bukan rumah permanen, melainkan peristirahatan sementara di tepi jalan panjang. Kita mampir, minum sebentar untuk melepas dahaga, lalu melanjutkan perjalanan yang tak pernah kita tahu ujungnya di mana.
Ini bukan sikap pesimis, melainkan kebijaksanaan. Kesadaran bahwa hidup itu singkat membuat kita lebih hati-hati. Bahwa kita tidak benar-benar memiliki apa pun. Kita hanya dipinjami. Bahkan tubuh ini pun bukan milik kita, ia akan kembali ke tanah, sementara jiwa meneruskan perjalanannya.
Di sinilah resonansi kosmik terasa. Sama seperti bintang-bintang yang lahir, bersinar, lalu padam. Sama seperti daun yang tumbuh, hijau, lalu gugur. Hidup selalu tentang singgah, bukan menetap.
Pola yang Kekal: Getaran yang Tak Mati
Ada sesuatu yang abadi di balik semua kefanaan: pola.
Bintang mati, tapi cahaya yang ia pancarkan jutaan tahun lalu masih melaju di angkasa, mungkin baru sampai ke mata kita hari ini. Tubuh manusia hancur, tapi kebaikan yang ia sebarkan bisa hidup di hati orang lain, menerus, membentuk pola yang tak pernah benar-benar mati.
Segala sesuatu adalah getaran, dan getaran bisa diterjemahkan ke bentuk apa saja: suara, cahaya, pasir, bahkan keheningan. Inilah yang membuat pola abadi. Maka meski waktu menghapus bentuk, ia tak mampu menghapus makna.
Al-Qurโan dan Kesaksian Waktu
Al-Qurโan pun mengingatkan betapa pentingnya waktu. Dalam Surah Al-โAsr, Allah bersumpah demi waktu:
ููุงููุนูุตูุฑู (ูก) ุฅูููู ุงููุฅููุณูุงูู ููููู ุฎูุณูุฑู (ูข) ุฅููููุง ุงูููุฐูููู ุขู ููููุง ููุนูู ููููุง ุงูุตููุงููุญูุงุชู ููุชูููุงุตูููุง ุจูุงููุญูููู ููุชูููุงุตูููุง ุจูุงูุตููุจูุฑู (ูฃ)
Artinya:
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal shalih, saling menasihati dalam kebenaran, dan saling menasihati dalam kesabaran.” (QS. Al-โAsr: 1-3)
Ayat ini sederhana, tapi menghantam dalam. Waktu bukan sekadar arus netral, tapi ujian. Barangsiapa hanya membiarkannya lewat tanpa iman, amal, kebenaran, dan kesabaran, ia akan rugi. Sebaliknya, barangsiapa menyadari singkatnya hidup dan mengisinya dengan makna, ia akan selamat.
Hidup: Antara Kehilangan dan Keutuhan
Sering kita merasa kehilangan. Kehilangan masa lalu, kehilangan orang tercinta, kehilangan kesempatan.
Tapi sebenarnya, apakah kita pernah benar-benar memiliki?
Dari awal, semua hanyalah titipan. Kita tidak menggenggam, maka tak ada yang benar-benar lepas. Kita hanya dititipi, lalu dikembalikan.
Kesadaran akan hal ini getir, tapi juga melegakan. Getir, karena ia menelanjangi kelekatan kita pada dunia. Melegakan, karena ia membuka jalan untuk merdeka: bahwa hidup hanyalah singgah, sebentar, untuk meneguk makna.
Pesan untukmu, Pembaca Makna
Wahai pembaca yang sedang menyusuri baris-baris ini,
jangan biarkan waktu hanya lewat. Rasakan arusnya, isi dengan kesadaran. Jangan biarkan kesadaran hanya terjebak pada pikiran, tapi biarlah ia menjadi cermin semesta. Jangan kira hidup ini tempat menetap, karena sejatinya kita hanya singgah.
Jangan takut kehilangan, karena dari awal kita tidak pernah menggenggam.
Yang abadi adalah pola, adalah resonansi.
Maka biarlah hidupmu menjadi pola kebaikan, yang terus bergetar bahkan setelah tubuhmu kembali ke tanah.
โ๏ธ Ditulis sebagai bagian dari rangkaian INTI โ Interkoneksi Narasi Teknologi Intelektual.
0054 โ Hidup Itu Singgah Sejenak dalam Arus Kesadaran dan Waktu.