Aku Ingin Hidup, Bukan Sekadar Bertahan
Di tengah derasnya arus kerja, target, dan kebutuhan, pernahkah kita berhenti sejenak dan bertanya: apakah aku benar-benar hidup, atau hanya bertahan? Pertanyaan ini tidak datang dari kelemahan, tapi dari keberanian untuk jujur pada diri sendiri.
Banyak dari kita menjalani hari demi hari dengan rutinitas yang melelahkan. Bangun pagi, bekerja tanpa henti, tidur larut—dan mengulanginya lagi esok. Di balik layar kesibukan itu, ada suara lirih dari dalam jiwa yang berkata:
“Aku ingin hidup… bukan sekadar bertahan.”
INTI ini hadir untuk menjelajah rasa yang tak sempat kita akui, kegelisahan yang tak berani kita ucap, dan kerinduan jiwa untuk menemukan makna di balik semua ini.
1. Bekerja: Antara Kebutuhan dan Kehidupan
Bekerja adalah bagian tak terpisahkan dari hidup manusia. Ia adalah bentuk tanggung jawab, ibadah, dan kontribusi. Namun ketika pekerjaan mengambil alih seluruh ruang hidup, maka kita perlu bertanya: apakah pekerjaan itu masih sarana, atau sudah menjadi penjara?
Kita didorong untuk terus produktif. Tapi tanpa sadar, produktivitas menjadi candu yang menyita makna. Banyak dari kita merasa bersalah saat istirahat, atau merasa gagal ketika tak bisa membeli sesuatu.
Padahal Rasulullah ﷺ mengajarkan keseimbangan, bukan keterlenaan. Bahkan beliau pun mengasingkan diri di Gua Hira—sebuah waktu hening untuk mendengar suara langit dan batin sendiri.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia…”
(QS. Al-Qashash: 77)
وابتغ فيما آتاك الله الدار الآخرة ولا تنس نصيبك من الدنيا
Kita diingatkan untuk hidup seimbang. Dunia penting, tapi bukan segalanya. Akhirat adalah tujuan, dan dunia hanyalah kendaraan.
2. Jiwa yang Lelah: Batin yang Menangis Diam-Diam
Dalam kesibukan, banyak batin yang menangis tanpa suara. Ia tidak meledak, tapi terus mengalir di dalam. Rasa berat, gelisah, kehilangan makna, adalah gejala-gejala bahwa jiwa kita sedang kehausan.
Psikologi eksistensial menyebut ini sebagai existential vacuum—kekosongan eksistensial. Di mana manusia hidup, tapi merasa tidak benar-benar hidup. Ia bekerja, tapi tak tahu untuk apa. Ia lelah, tapi tak tahu bagaimana istirahat.
Dalam Islam, hati yang tidak terhubung dengan makna dan dzikir kepada Allah akan menjadi keras dan kosong.
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
(QS. Ar-Ra’d: 28)
ألا بذكر الله تطمئن القلوب
INTI ini mengajak kita bukan untuk berhenti bekerja, tapi untuk mendengar kembali suara hati yang mungkin telah lama kita abaikan.
3. Harapan, Ibadah, dan Tujuan Hidup
Sebagian dari kita mungkin menyimpan harapan besar: bisa bekerja tanpa dikejar-kejar uang. Bisa beribadah dengan tenang. Bisa memberi tanpa takut kekurangan. Tapi dunia hari ini menuntut banyak. Seolah kita tidak boleh lelah, tidak boleh lambat, tidak boleh gagal.
Namun harapan seperti itu bukanlah utopia. Ia adalah arah yang sehat. Bahwa manusia boleh ingin hidup damai, tanpa terlena oleh dunia. Bahkan para Nabi pun berdoa memohon rezeki yang cukup, bukan yang berlebihan.
“Ya Allah, cukupkanlah aku dengan yang halal, jauhkan aku dari yang haram, dan cukupkanlah aku dengan karunia-Mu dari selain-Mu.”
(HR. Tirmidzi)
Harapan untuk hidup tenang bukanlah kelemahan. Justru ia adalah tanda hati yang masih peka.
4. Ilmu yang Mendukung Kesadaran Ini
Bukan hanya spiritualitas yang membahas ini. Beberapa disiplin ilmu juga mengakui pentingnya kehidupan yang bermakna:
- Psikologi Humanistik (Carl Rogers, Abraham Maslow): menekankan aktualisasi diri, hidup yang bermakna.
- Psikologi Eksistensial (Viktor Frankl): manusia butuh makna lebih dari sekadar kenyamanan.
- Filsafat Timur: seperti Zen, Tao, dan sufisme—menekankan kehadiran dan kesadaran dalam menjalani hidup.
INTI ini berdiri di antara sains dan iman, di antara realita dan rasa. Mengajak pembaca kembali ke dalam—ke tempat di mana suara jiwa bisa terdengar jernih.
5. Proses, Bukan Hasil Instan
Jika kamu sedang dalam tekanan, merasa gagal, kehilangan arah—itu bukan akhir. Itu bisa jadi awal. Proses itu memang tidak indah di mata dunia, tapi ia penuh kejujuran. Kita tidak harus terlihat sukses, kita hanya perlu jujur bahwa kita sedang berproses menuju hidup yang lebih bermakna.
“Kesadaran adalah anugerah. Tapi sadar dan tetap melangkah—itulah kekuatan.”
Penutup: Dengarkan Suara Itu
Jika malam ini kamu merasa berat, hampa, atau lelah—maka kamu tidak sendiri. Banyak jiwa yang memikul rasa serupa. INTI ini tidak menawarkan solusi instan, tapi mengajakmu untuk mengakui bahwa:
Kita semua ingin hidup, bukan hanya bertahan.
Dan itu keinginan yang sah. Bahkan mulia.
“Dan jangan kamu mati kecuali dalam keadaan berserah diri (muslim).”
(QS. Ali Imran: 102)
ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون
Mati dalam keadaan hidup. Hidup dalam kesadaran. Bertahan bukanlah tujuan, tapi mungkin memang jalan menuju hidup yang sejati.
✍️ Ditulis sebagai bagian dari rangkaian INTI – Interkoneksi Narasi Teknologi Intelektual.
0041 – Aku Ingin Hidup, Bukan Sekadar Bertahan.