Akal Bertanya Seperti Anak, Rasa Memeluk Seperti Ibu
“Akal merasa, tapi rasa merasa cukup.”
– Sebuah renungan tentang harmoni antara pencarian dan penerimaan
I. Pembuka: Anak Kecil Bernama Akal
Akal adalah anugerah, tapi juga beban. Ia adalah cahaya yang ditanamkan ke dalam diri manusia agar mampu membedakan antara jalan yang benar dan yang menyesatkan. Tapi seperti anak kecil yang terus bertanya tanpa lelah, akal tidak pernah puas. Ia ingin tahu segalanya. Ia ingin memastikan segalanya. Ia ingin merasa aman dalam kepastian.
Setiap kali kita memandang ke luar—melihat orang lain tampak lebih berhasil, lebih kaya, lebih damai—akal mulai bertanya:
“Kenapa aku tidak seperti mereka?”
“Kenapa rezeki seolah jauh?”
“Kenapa aku selalu merasa tertinggal?”
Pertanyaan-pertanyaan ini, jika tidak dijaga oleh kesadaran jiwa, bisa menjadi belenggu. Akal yang seharusnya menuntun, bisa berubah menjadi bara yang membakar diri. Ia mulai membandingkan, meragukan, bahkan mencurigai takdirnya sendiri.
Namun Tuhan pemilik materi & non-materi telah memberi petunjuk dalam wahyu-Nya:
📖 إِنَّ الْإِنسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah. Apabila ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah. Dan apabila mendapat kebaikan, ia kikir.”
(QS. Al-Ma’arij: 19–21)
Akal manusia, dalam kodratnya, memang gelisah. Tapi justru dari kegelisahan itulah jalan pencarian dimulai. Dan tugas rasa bukan untuk memadamkan akal, tapi untuk memeluknya hingga ia tidak lagi takut pada ketidaktahuan.
II. Rasa: Pelukan Tanpa Jawaban
Rasa tidak menjelaskan. Ia tidak membantah. Ia hanya memeluk. Seperti seorang ibu yang tahu bahwa anaknya tidak butuh teori—hanya butuh ditemani.
“Tenang nak, tidak semua harus dimengerti. Ada yang cukup dirasa.”
Inilah bagian terdalam dari jiwa manusia. Tempat di mana kita meletakkan segala keresahan. Tempat di mana kita berkata: “Ya Allah, aku tidak tahu harus bagaimana, tapi aku percaya pada-Mu.”
📖 Firman Allah:
وَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu.”
(QS. Al-Baqarah: 216)
Ayat ini bukan argumen akal, tapi bisikan rasa. Ia mengajarkan percaya bahkan saat logika tidak bisa memahaminya.
III. Ketika Akal Menjerat, Rasa Menyelamatkan
Sering kali akal terasa terlalu keras:
memaksa membandingkan, menyalahkan, bahkan merasa tertinggal.
“Kenapa dia bisa? Kenapa aku tidak?”
Namun di balik semua kebisingan itu,
ada suara lain yang jarang didengar —
suara yang lebih lembut, tapi jujur:
suara yang merasa.
“Tapi aku masih dicintai. Aku masih bernapas. Aku belum selesai.”
Bukan akal yang salah,
tapi saat ia dibiarkan berjalan sendirian.
Sebab akal bisa cemerlang dalam menyusun logika,
namun hanya rasa yang tahu kapan cukup — bahkan saat semua tampak kurang.
Saat akal membandingkan hidup kita dengan orang lain, rasa datang sebagai penyelamat.
- Saat iri tumbuh, rasa mengingatkan bahwa yang kita punya belum tentu bisa dimiliki orang lain.
- Saat minder muncul, rasa berbisik: “Tugasmu bukan menjadi mereka, tapi menjadi dirimu yang paling jujur.”
Karena rasa tahu: yang tampak di luar, sering tak mencerminkan damai di dalam.
Akal bertanya: “Kenapa aku kalah?”
Rasa menjawab: “Karena kamu sedang dilatih untuk menang di tempat lain.”
Dan memang begitulah manusia. Ketika akal berlebihan, ia bisa menjerat jiwa sendiri. Namun rasa — yang tak selalu logis — justru menyentuh bagian terdalam dari keberadaan kita. Rasa memberi ruang untuk menerima, bahkan sebelum memahami.
﴿لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَاۚ﴾
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
— (QS. Al-Baqarah: 286)
Ayat ini mengingatkan: jika hidup terasa berat, bukan karena akal salah, tapi karena hati sedang ditempa untuk lebih kuat. Rasa memeluk luka, bukan menolaknya — dan dari sanalah jiwa tumbuh.
IV. Bukan Menolak Akal, Tapi Menempatkannya
INTI ini bukan tentang menolak akal. Justru akal adalah cahaya. Tapi seperti cahaya yang terlalu terang bisa menyilaukan, maka harus ada bayangan—tempat rasa berlindung dan membentuk makna.
Akal adalah alat luar biasa, namun ia bukan pemilik kebenaran tertinggi. Ia bisa mengukur, menganalisis, dan menyusun. Tapi ada ruang-ruang dalam jiwa yang tak bisa diakses logika. Ada rasa yang hanya bisa dipahami melalui diam.
Saat akal mencoba mengukur cinta, ia kebingungan.
Saat akal mencoba memahami sabar, ia kelelahan.
Saat akal mencoba mendefinisikan makna hidup, ia tersesat dalam kompleksitas.
Maka akal perlu belajar tunduk, bukan menyerah. Ia perlu menyadari batasnya, dan memberi ruang bagi jiwa untuk bersujud.
Terkadang, makna hidup bukan ditemukan melalui pencarian rasional, tapi dalam heningnya air mata yang jatuh tanpa alasan.
Karena jalan menuju Tuhan bukan sekadar soal sebab-akibat, tapi juga tentang resonansi batin, keterhubungan jiwa, dan kepasrahan total.
📖 وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ
“Dan di atas setiap orang yang berpengetahuan, masih ada yang Maha Mengetahui.”
(QS. Yusuf: 76)
📖 قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
“Katakanlah: ‘Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.’”
(QS. Al-Isra: 85)
Akal harus tahu kapan saatnya diam. Dan justru dalam diam itulah, terkadang kita menemukan jawaban yang tak bisa dijelaskan, tapi bisa dirasakan.
Rasa bukan musuh akal. Ia adalah pintu masuk ke hikmah yang lebih tinggi.
V. Akal Adalah Anak, Rasa Adalah Ibu
Akal akan terus bertanya, karena itulah tugasnya. Ia ingin menjelaskan, menalar, membedah kenyataan dengan logika. Tapi jangan biarkan ia sendirian terlalu lama. Ia butuh pelukan. Bukan untuk dihentikan, tapi untuk ditenangkan.
Rasa—yang sabar, yang pasrah, yang menerima—adalah ibu bagi akal. Ia tak melawan logika, tapi menyelimuti logika dengan kasih. Rasa membimbing akal agar tidak terjerat oleh kegelisahan, agar tidak menjadi sombong karena tahu, dan tidak menjadi hampa karena tidak tahu.
Ketika akal merasa gagal memahami dunia, rasa datang membisikkan makna. Ia tidak menjawab dengan rumus, tapi dengan kelembutan.
“Kasihilah akalmu. Ia hanya ingin mengerti dunia. Tapi ajarilah ia bahwa dunia tak akan pernah sepenuhnya bisa dimengerti.”
📖 ٱللَّهُ لَطِيفٌۭ بِعِبَادِهِۦ يَرْزُقُ مَن يَشَآءُ ۖ وَهُوَ ٱلْقَوِىُّ ٱلْعَزِيزُ
“Allah Maha Lembut terhadap hamba-hamba-Nya. Dia memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dialah Yang Maha Kuat, Maha Perkasa.”
(QS. Asy-Syura: 19)
VI. Harapan Tumbuh Saat Akal dan Rasa Berdamai
Harapan yang sejati tidak tumbuh dari akal yang menang sendiri, atau rasa yang mengabaikan logika. Ia tumbuh di ruang pertemuan—saat akal dan rasa akhirnya duduk bersama, saling mendengarkan.
Ketika akal tidak lagi memaksa semua harus dipahami hari ini, dan rasa tidak lagi takut akan masa depan, maka hadirlah harapan yang utuh:
- Harapan yang tidak tergesa, karena tahu setiap hal memiliki waktunya.
- Harapan yang bukan sekadar impian, tapi bentuk ibadah dalam ketekunan dan kesabaran.
- Harapan yang tak menuntut jawaban segera, tapi tetap berjalan dalam kepercayaan, seakan berkata: “Aku tidak tahu bagaimana, tapi aku percaya akan ada jalan.”
Dalam perdamaian itu, tumbuhlah harapan yang tidak meledak sesaat, tapi menyala perlahan. Seperti api kecil yang tetap hidup walau diterpa angin malam.
📖 وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ
“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), sesungguhnya Aku dekat.”
(QS. Al-Baqarah: 186)
Ayat ini bukan hanya menjawab, tapi menenangkan. Bahwa dalam keraguan dan pencarian, dalam gemetar hati dan bimbang akal, Allah tidak jauh. Harapan itu sendiri adalah bukti bahwa Dia dekat—dan yang dekat itu cukup untuk melanjutkan langkah.
“Harapan adalah ibadah tanpa suara. Ia tidak selalu kuat, tapi ia selalu setia.”
VII. Penutup: Jiwa yang Merangkul Diri Sendiri
Mungkin… yang dibutuhkan manusia bukan lagi pembuktian,
tapi pelukan pada dirinya sendiri.
Bahwa akal dan rasa tidak perlu bersaing.
Mereka hanya butuh beriringan.
Dan saat itulah…
lahirlah manusia yang utuh.
Manusia yang berpikir dengan cinta, dan mencinta dengan kesadaran.
🌿 Ayat Suci Penyejuk Jiwa
“…Alaa bi dzikrillaahi tathma’innul quluub.”
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”
(QS. Ar-Ra’d: 28)“Mungkin… sudah saatnya kita masing-masing bertanya kepada akal sendiri: Apa yang sebenarnya sedang kucari? Dan kepada rasa: Apa yang selama ini diam tapi tetap setia menunggu didengar?”
✍️ Ditulis sebagai bagian dari rangkaian INTI – Interkoneksi Narasi Teknologi Intelektual.
0031 – Akal Bertanya Seperti Anak, Rasa Memeluk Seperti Ibu.