🌀 INTI 0044 — Hidup Itu Repot, Tapi Justru Disitulah Aku Belajar Hidup
Judul Alternatif: Belajar Hidup Justru dari Kerepotan
Pengantar
Hidup itu repot.
Itu kalimat yang sering terlintas di kepalaku,
bukan sekadar keluhan, tapi pengakuan.
Repot ketika pekerjaan menumpuk.
Repot ketika hati goyah.
Repot ketika rezeki datang dari pintu yang tak kusangka, bahkan kadang tak bisa kutolak.
Repot ketika aku ingin sederhana, tapi dunia mengajakku rumit.
Namun, repot itulah yang membuatku belajar hidup.
Kalau semuanya mudah, barangkali aku tak akan pernah belajar bersyukur, tak akan pernah belajar bertahan, tak akan pernah belajar berdoa dengan tulus.
Bagian I – Repot adalah Guru yang Diam-diam Menyayangimu
Aku sering merasa hidup menertawakan aku.
Ketika aku berharap tenang, justru badai datang.
Ketika aku ingin diam, justru keadaan mendesak untuk bergerak.
Dan ketika aku ingin berhenti, hidup justru berkata: “Maju, kalau tidak, kau akan ditinggal.”
Ada ironi di sana.
Tapi justru dari ironi itulah aku belajar.
Ironi adalah guru yang sering tidak kita sukai, tapi diam-diam ia menyayangi kita.
Ia memaksa kita untuk membuka mata, untuk sadar bahwa kita masih manusia—lemah, tapi juga punya daya.
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
(QS. Al-Baqarah: 155)
وَلَنَبْلُوَنَّكُم بِشَيْءٖ مِّنَ ٱلْخَوْفِ وَٱلْجُوعِ وَنَقْصٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ ١٥٥
Aku membaca ayat itu berulang kali.
Seakan Tuhan sedang berkata langsung kepadaku:
“Aku tahu hidupmu repot, tapi di situlah sabarmu diuji, dan di situlah Aku dekat denganmu.”
Bagian II – Protes yang Menjadi Doa
Aku sering protes kepada hidup.
Kenapa rezeki datang bukan dari yang kuharapkan?
Kenapa orang-orang pergi, meninggalkanku di persimpangan?
Kenapa aku merasa jalan ini sepi, jarang ada yang lewat, bahkan kadang aku merasa aku sendirilah yang berjalan?
Tapi protes itu, lama-lama aku sadari, bukanlah bentuk pembangkangan.
Protes itu adalah doa yang kasar bahasanya.
Protes itu adalah jeritan hati yang belum sempat tersusun indah.
Dan ternyata, Tuhan tidak marah.
Dia mendengarkan, bahkan ketika aku bicara dengan nada putus asa.
Dia memahami, bahkan ketika aku tidak pandai merangkai doa.
Bukankah Nabi Zakariya juga pernah berdoa dengan nada getir, ketika merasa tua dan lemah?
“Ya Tuhanku, sesungguhnya tulangku telah lemah dan kepalaku telah dipenuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada-Mu, ya Tuhanku.”
(QS. Maryam: 4)
قَالَ رَبِّ إِنِّي وَهَنَ ٱلۡعَظۡمُ مِنِّي وَٱشۡتَعَلَ ٱلرَّأۡسُ شَيۡبٗا وَلَمۡ أَكُنۢ بِدُعَآئِكَ رَبِّ شَقِيّٗا ٤
Ayat itu seperti cermin.
Bahwa bahkan seorang Nabi pun pernah merasa lemah, merasa renta, merasa tak berdaya.
Namun ia tetap datang kepada Tuhannya, dengan jujur, dengan getir, dengan polos.
Dan di situlah aku belajar: protes bukan berarti aku tidak beriman.
Protes justru berarti aku masih peduli.
Aku masih ingin hidupku bermakna, masih ingin Tuhan mendengar suaraku.
Bagian III – Syukur di Tengah Repot
Syukur itu aneh.
Ia kadang terasa seperti tambahan, seperti hiasan di akhir doa.
Tapi semakin aku berjalan, aku sadar—syukur itu bukan tambahan.
Syukur itu keutuhan.
Syukur itu cara kita berkata: “Aku masih ada. Aku masih bernapas. Aku masih bisa merasa.”
Hidup memang repot, tapi tanpa repot itu, aku tak akan pernah tahu rasanya syukur yang dalam.
Seperti orang yang tak pernah lapar, ia tak akan pernah benar-benar menghargai nikmat makanan.
Seperti orang yang tak pernah kehilangan, ia tak akan pernah benar-benar mengerti arti pertemuan.
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
(QS. Ibrahim: 7)
لَئِن شَكَرۡتُمۡ لَأَزِيدَنَّكُمۡۖ وَلَئِن كَفَرۡتُمۡ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٞ ٧
Ayat ini adalah janji dan juga peringatan.
Bahwa syukur bukan sekadar ucapan, tapi jalan hidup.
Bahwa syukur bukan sekadar “terima kasih”, tapi sikap hati yang membuat hidup terasa lebih luas.
Bagian IV – Bertahan di Arus
Kadang aku ingin menyerah.
Arus terlalu deras, dan aku hanyalah satu manusia biasa yang mencoba berenang.
Tapi anehnya, justru di saat aku merasa paling lemah, ada tangan tak terlihat yang mengangkatku.
Aku tidak tenggelam, meski seharusnya aku sudah lelah.
Dan aku percaya, itulah rahmat Tuhan yang tak henti mengalir.
Meski aku sering lalai, Dia tetap menjagaku.
Meski aku sering protes, Dia tetap menuntunku.
Hidup memang repot, tapi jika aku terus bertahan di arus ini, aku belajar sesuatu yang lebih besar: bahwa hidup bukan tentang menghindari repot, tapi tentang belajar berenang, belajar mengikuti arus tanpa kehilangan arah.
Bagian V – Pesan untuk Sesama
Aku menulis ini bukan hanya untuk diriku.
Aku menulis ini untukmu, yang mungkin sedang merasa lelah.
Untukmu, yang merasa hidup terlalu repot.
Untukmu, yang kadang ingin berhenti.
Aku ingin mengingatkan:
Jangan berhenti.
Tetaplah bertahan, tetaplah belajar, tetaplah bersyukur—dan jika perlu, tetaplah protes.
Karena protesmu juga doa, karena repotmu juga pelajaran, karena lelahmu juga tanda bahwa engkau masih hidup.
Ingatlah: hidup tidak pernah menjanjikan kemudahan, tapi Tuhan menjanjikan keberkahan bagi mereka yang sabar dan bersyukur.
Dan jika suatu saat kau merasa sendirian di jalan ini, ingatlah bahwa barangkali justru di situlah engkau paling dekat dengan Tuhanmu.
Penutup
Hidup itu repot.
Tapi justru di situlah kita belajar hidup.
Di situlah kita belajar arti sabar, arti syukur, arti doa, bahkan arti protes.
Di situlah kita belajar bahwa kelemahan bukan akhir, tapi pintu menuju kekuatan.
Maka aku menulis ini, bukan untuk mengeluh.
Aku menulis ini untuk mengingatkan diriku sendiri—dan kamu juga—bahwa repot bukanlah musuh.
Repot adalah guru.
Repot adalah jalan.
Repot adalah tanda bahwa kita masih hidup, masih punya kesempatan untuk kembali kepada-Nya.
✍️ Ditulis sebagai bagian dari rangkaian INTI – Interkoneksi Narasi Teknologi Intelektual.
0044 – Hidup Itu Repot: Tapi Justru Disitulah Aku Belajar Hidup.