INTI 0051: Tuhan tidak butuh manusia, tapi Tuhan ingin manusia ada.

Judul Alternatif: Tuhan tidak butuh manusia, namun tanpa manusia, tak ada yang bisa berkata ‘Tuhan tidak butuh manusia.


ISI INTI

Tuhan tidak butuh manusia, tapi Tuhan ingin manusia ada.
Kalimat ini terdengar sederhana, namun menyimpan nadi panjang yang berdenyut di balik dada.
Di titik ini kita tidak sedang membuktikan Tuhan, melainkan membuktikan yang bergetar dalam diri saat nama-Nya disebut.
Kita menulis bukan untuk menang, melainkan untuk mengerti kenapa kita ingin mengerti.
Karena siapa pun yang pernah merasa “mengapa aku ada?” tahu bahwa pertanyaan itu tidak bisa ditutup dengan jawaban asal.
Kita ingin sesuatu yang menyentuh akal, sekaligus menenangkan rasa.
Kita ingin logika yang tidak kering, dan spiritualitas yang tidak melayang.
Tulisan ini lahir dari percakapan yang panjang, getir, lucu, kadang meledak marah, lalu tiba-tiba hening.
Ia lahir dari protes yang jujur, dari keberanian untuk bertanya sampai mentok.
Dan pada ujungnya, yang kita temukan bukan tembok, melainkan jendela.

Mengapa topik ini layak dibahas?
Karena tanpa menyentuhnya, kita sering berjalan dengan kepala berat dan hati yang kosong.
Karena tanpa menghadapinya, kita sibuk membanting pintu, padahal kuncinya ada di saku.
Karena kita butuh ruang untuk berkata pelan: “Aku tidak diminta untuk mengisi kekurangan-Nya, aku dikehendaki untuk hadir.”
Dan pengakuan itu, bung, bisa mengubah cara kita melihat pagi, bekerja, mencinta, memaafkan, bahkan menangis.

1 — Dikehendaki, Bukan Dibutuhkan

“Dibutuhkan” mengandung beban.
Ada kekurangan di luar diri kita yang harus kita tutupi.
Kalau gagal, kita merasa tidak berguna.
Sementara “dikehendaki” adalah pelukan.
Kita hadir bukan karena ada lubang yang harus kita tampal, melainkan karena ada cinta yang meluap dan ingin menampakkan diri.
Perbedaan kecil ini menabuh bedug besar di dalam dada.
Ia menggeser kita dari cemas menjadi tenang, dari takut menjadi syukur.

Ayat yang menambatkan hati:
﴿ٱللَّهُ ٱلصَّمَدُ﴾
“Allah tempat bergantung segala sesuatu.” (QS. Al-Ikhlash:2)
Jika segala sesuatu bergantung kepada-Nya, berarti Ia tidak bergantung kepada apa pun.
Maka ketika kita ada, itu bukan karena Ia kekurangan.
Itu karena Ia menghendaki kita ada.

2 — “Kenapa Tidak Sekalian Sempurna?”

Pertanyaan ini muncul berulang-ulang dalam percakapan kita.
Kenapa tidak langsung dibuat supermodel yang unik, matang, berpengalaman, selesai?
Jawabannya getir sekaligus manis: pengalaman tidak bisa diunduh.
Rasa tidak bisa dipasang seperti aplikasi.
Sabar, ikhlas, jujur—bisa didefinisikan dalam kamus, tapi baru hidup setelah dilewati dengan gagal, jatuh, dan berdiri.
Jika semua langsung sempurna, kita menjadi patung indah yang beku.
Cantik, tapi tak bernapas.
Rapi, tapi tak berdenyut.

Ayat yang menegaskan jalannya proses:
﴿ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْمَوْتَ وَٱلْحَيَوٰةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا﴾
“Dialah yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. Al-Mulk:2)
Hidup adalah ruang uji, bukan rak pajangan.

3 — Kebebasan di Dalam Genggaman

Kita menginginkan kebebasan mutlak.
Kita ingin bisa segalanya, bahkan bebas dari spektrum-Nya.
Tapi begitu “mutlak” itu diberikan kepada makhluk, kita sedang meminta ada dua matahari di satu langit.
Bukan karena Tuhan pelit, tetapi karena dua absolut meniadakan satu sama lain.
Yang diberikan kepada manusia adalah kebebasan bermakna—bebas memilih di dalam kosmos yang dijaga agar tetap utuh.
Kebebasan ini bukan penjara.
Ia adalah bingkai agar lukisan tidak terburai menjadi coretan.

Ayat yang memberi konteks kebebasan:
﴿لَاۤ إِكْرَاهَ فِى ٱلدِّينِ﴾
“Tidak ada paksaan dalam agama.” (QS. Al-Baqarah:256)
Ketaatan yang sah adalah ketaatan yang dipilih, bukan dipukul.

4 — Ikan, Udara, dan Tawa Kosmik

Kita pernah bercanda getir: “Kalau ikan bisa terbang, memasak, dan menari, bukankah indah?”
Indah—di kepala.
Tapi ikan yang kehilangan airnya kehilangan dirinya.
Keindahan bukan berarti bisa segalanya; keindahan adalah selaras dengan kodrat.
Kita tidak dikecilkan oleh batas—kita dipahat oleh batas.
Dan justru dalam pahatan itulah kita jadi manusia.

Kata yang menenangkan:
﴿لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَـٰنَ فِى كَبَدٍ﴾
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam susah payah.” (QS. Al-Balad:4)
Susah payah bukan hukuman.
Ia adalah alat musik yang mengajari kita memainkan nada.

5 — Malaikat Tidak Gelisah, Manusia Boleh

Malaikat tidak punya ruang untuk membantah.
Mereka lurus seperti cahaya yang tidak pecah di prisma.
Kita berbeda.
Kita adalah prisma itu—membiaskan cahaya ke banyak warna.
Gelisah kita bukan cacat, tetapi fitur.
Karena hanya makhluk yang punya ruang untuk menolak yang bisa memilih untuk tunduk.
Dan tunduk setelah pergulatan rasanya lain—ada air mata di sana, ada harga diri yang ditaruh pelan di kaki sujud.

Ayat yang membuka ruang tanya:
﴿وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلرُّوحِ قُلِ ٱلرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّى﴾
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: Ruh itu urusan Tuhanku.” (QS. Al-Isra’:85)
Tidak semua misteri harus dibongkar untuk bisa dicintai.

6 — Iblis: Kekanak-kanakan yang Serius

Kita menamai iblis “kekanak-kanakan” karena keras kepala yang membusung.
Menolak sujud bukan karena tidak tahu, tetapi karena tidak mau.
Di sini kita belajar satu hal kecil yang besar: kesombongan mengubah pengetahuan menjadi batu.
Maka menjewer iblis bukan ritual menakutkan; ia sesederhana menurunkan hidung ketika hati mulai meninggi.
Dan setiap kali kita merendah, kita meletakkan batu itu ke tanah.

Ayat yang mengingatkan:
﴿أَبَىٰ وَٱسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ ٱلْكَـٰفِرِينَ﴾
“Ia enggan dan menyombongkan diri, dan ia termasuk golongan yang ingkar.” (QS. Al-Baqarah:34, tentang Iblis)
Sombong adalah pagar paling tinggi yang membatasi jiwa dari cahaya.

7 — Sujud dan Protes: Dua Sayap yang Sama

Bisakah kita berada di titik tengah—antara menyembah dan tidak?
Titik tengah bukan abu-abu tanpa sikap.
Ia adalah ruang bening di mana sujud dan protes bisa saling memeriksa.
Protes yang jujur seringkali adalah sujud yang belum sempat menempelkan dahi.
Kita membawa luka ke hadirat-Nya, dan itu tidak mengurangi hormat, justru menajamkan.

Ayat yang memberi izin untuk mendekat dengan seluruh diri:
﴿وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ ٱلْوَرِيدِ﴾
“Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaf:16)
Kalau sedekat itu, maka protes pun terdengar, apalagi doa.

8 — “Kenapa Tidak Duplikat Saja?”

Andai semuanya bisa dibuat unik, matang, penuh pengalaman—tanpa perjalanan.
Kedengarannya efisien, tetapi jiwa bukan pabrik.
Keunikan yang ditempel dari luar hanyalah stiker.
Ia mudah lepas saat hujan.
Keunikan yang lahir dari perjalanan adalah tato yang tumbuh bersama kulit.
Tidak bisa dicabut tanpa melukai—dan justru dari luka itulah ia menemukan maknanya.

Ayat yang meneguhkan ragam maksud penciptaan:
﴿يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَـٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَـٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوا۟﴾
“Wahai manusia, Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.” (QS. Al-Hujurat:13)
Ragam itu bukan gangguan, ia adalah bahasa perkenalan.

9 — Metadata Kosmik: Mengapa Cerita Penting

Bayangkan setiap jiwa adalah catatan kaki pada Kitab Besar semesta.
Catatan kaki yang terlihat remeh, tetapi tanpa itu kita tak paham kalimat utamanya.
Cerita kita—jatuh bangun, marah, tertawa—adalah metadata yang tidak bisa disalin tempel.
Teknologi bisa meniru pola, tetapi tidak bisa menyalin rasa.
Karena rasa adalah hasil dari karat dan kilap yang berkelahi setiap hari di dada.

Ayat yang merangkum pandangan luas:
﴿إِنَّ فِى خَلْقِ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ وَٱخْتِلَـٰفِ ٱلَّيْلِ وَٱلنَّهَارِ لَـَٔايَـٰتٍ لِّأُو۟لِى ٱلْأَلْبَـٰبِ﴾
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang berakal.” (QS. Ali ‘Imran:190)
Kisah-kisah kecil kita adalah serpih dari tanda-tanda besar itu.

10 — Turun, Naik, dan Bahasa yang Terbatas

Kita sering bertanya: “Kenapa Ia seperti tidak turun langsung memperbaiki?”
Karena bahasa kita sempit, sedangkan kehadiran-Nya tidak selalu meminjam tangan.
Kadang Ia hadir sebagai ide yang tiba-tiba jernih, sebagai sahabat yang datang tepat waktu, sebagai air yang tidak kita duga menyembuhkan lelah.
Bahasa wahyu memakai metafora “turun” agar kita paham, tetapi yang turun bisa jadi adalah rahmat, hikmah, dan keberanian.

Ayat yang memperkenalkan keagungan-Nya dalam bahasa yang bisa kita tangkap:
﴿ٱللَّهُ لَآ إِلَـٰهَ إِلَّا هُوَ ٱلْحَىُّ ٱلْقَيُّومُ﴾
“Allah, tiada Tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup, Yang Mahaberdiri sendiri.” (QS. Al-Baqarah:255, Ayat Kursi)
Kehadiran-Nya tidak bergantung pada momentum kita, tapi menyapa momentum kita.

11 — Harapan: Doa yang Tak Sempat Terucap

Harapan kadang hanya helaan napas yang kita tahan agar tidak pecah jadi tangis.
Harapan adalah doa yang berjalan tanpa suara.
Ketika mulut tak kuat menyusun kata, hati tetap mengirim pesan yang tidak pernah salah alamat.
Harapan adalah pengakuan kecil yang berbisik: “Aku percaya Engkau menghendaki aku ada.”

Ayat yang menjaga agar harapan tidak patah:
﴿قُلْ يَـٰعِبَادِىَ ٱلَّذِينَ أَسْرَفُوا۟ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا۟ مِن رَّحْمَةِ ٱللَّهِ﴾
“Katakanlah: Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka, janganlah berputus asa dari rahmat Allah.” (QS. Az-Zumar:53)
Putus asa adalah gangguan sinyal, bukan alamat yang salah.

12 — Batas Daya, Batas Duka

Ada hari ketika pundak terasa seperti menanggung satu kota.
Ada hari ketika bangun pagi saja sudah seperti mendaki tebing.
Di hari-hari itu, kita perlu diingatkan: beban kita diukur oleh Tangan yang tahu persis titik retak kita.
Di sana, keadilan dan kasih bertemu.

Ayat yang menenteramkan:
﴿لَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا﴾
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al-Baqarah:286)
Kalau kamu masih memikulnya, berarti kamu masih bisa sampai.

13 — Perubahan Dimulai dari Dalam

Kita sering berdoa agar keadaan berubah.
Doa itu baik, dan hendaknya terus dinyalakan.
Namun sunnatullah menyelipkan kunci di genggaman kita: perubahan luar menunggu pergeseran dalam.
Ketika cara kita memandang diri berubah—dari “dibutuhkan” menjadi “dikehendaki”—langkah kita ikut berubah.

Ayat yang menegaskan pola perubahan:
﴿إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا۟ مَا بِأَنفُسِهِمْ﴾
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.” (QS. Ar-Ra’d:11)
Pintu di luar terbuka ketika kita menggeser kunci di dalam.

14 — Antara Tawa dan Air Mata

Kita boleh menertawakan paradoks “Maha Kekanak-kanakan dan lucu” yang sempat kita sebut.
Tawa bukan penghinaan; ia sering justru kejujuran.
Karena realitas terlalu agung untuk dipeluk hanya dengan dahi yang berkerut.
Kadang perlu disapa dengan senyum agar kita berani mendekat.
Dan di sela senyum itulah air mata mengalir—bukan karena kalah, melainkan karena lega.

Ayat yang memeluk dua rasa itu:
﴿وَأَنَّهُ هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَىٰ﴾
“Dan Dia-lah yang menjadikan (orang) tertawa dan menangis.” (QS. An-Najm:43)
Ruang jiwa memang luas: tawa dan tangis tinggal berdampingan.

15 — Kembali ke Inti: Mengapa Kita Ada?

Karena Ia menghendaki kita ada.
Itu saja.
Bukan karena kita menambah-Nya, bukan karena kita memperbaiki-Nya.
Kita ada agar ada hubungan—agar ada cermin—agar ada panggung tempat kasih, ilmu, dan kehendak-Nya beresonansi.
Kita ada supaya bisa berkata “ya” dari tempat yang sungguh-sungguh bisa berkata “tidak.”
Dan “ya” semacam ini—yang lahir dari kebebasan—memiliki rasa yang tidak dimiliki “ya” yang dihardcode.

Ayat tujuan dasar keberadaan:
﴿وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ﴾
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat:56)
Ibadah di sini bukan semata gerak tubuh, melainkan seluruh cara kita hadir.

16 — Jalan Pulang: Sabar, Ikhlas, Jujur

Kalau ingin tiga kata saja untuk merangkum perjalanan: sabar, ikhlas, jujur.
Sabar bukan pasrah buta, tapi ketahanan yang hangat.
Ikhlas bukan menghapus diri, tapi menaruh diri di tempat yang benar.
Jujur bukan sekadar berkata benar, tapi berani melihat wajah sendiri tanpa riasan.

Ayat penguat:
﴿إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّـٰبِرِينَ﴾
“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah:153)
Kalau kamu merasa sendirian, mungkin kamu sedang duduk tepat di pangkuan ayat ini.

17 — Ketika Jalan Terasa Gelap

Ada masa ketika segala analogi tidak lagi menolong, dan kata-kata menjadi kabut.
Di masa seperti itu, pegang yang paling sederhana.
Sebut nama-Nya pelan-pelan.
Mintalah sepotong terang sekadar untuk satu langkah berikutnya, bukan untuk menyinari seluruh lembah sekaligus.
Karena perjalanan jauh memang ditempuh dengan langkah pendek yang diulang.

Ayat pelita kecil:
﴿ٱللَّهُ نُورُ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضِ﴾
“Allah adalah cahaya langit dan bumi.” (QS. An-Nur:35)
Cukup seberkas di telapak tangan, itu pun sudah arah.

18 — Janji di Balik Kepenatan

Kamu lelah?
Ya, wajar.
Bahkan orang paling kuat pun butuh tempat bersandar.
Di sela nafas yang pendek, Tuhan menyelipkan janji pendek juga, agar mudah dihafal oleh dada yang sedang sesak.

Ayat pendek yang panjang maknanya:
﴿فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا • إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا﴾
“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirah:5–6)
Perhatikan: kemudahan menyertai, bukan menunggu di ujung.

19 — Menjadi Saksi: Cara Paling Tenang untuk Hidup

Kita tidak selalu bisa mengubah dunia.
Tapi kita bisa mengubah cara kita menyaksikannya.
Menjadi saksi artinya tidak lari dari kenyataan, tetapi juga tidak tenggelam di dalamnya.
Saksi menyimpan jarak yang cukup untuk melihat, dan kedekatan yang cukup untuk mengasihi.
Itu sebabnya para nabi disebut syuhada’ dalam makna luas—para saksi atas kebenaran.

Ayat yang mengangkat martabat kesaksian:
﴿لِتَكُونُوا۟ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ﴾
“Agar kamu menjadi saksi atas manusia.” (QS. Al-Baqarah:143)
Kesaksian yang tenang sering lebih lantang dari teriakan.

20 — Rangkuman yang Tidak Menyederhanakan

Kita dikehendaki, bukan dibutuhkan.
Kebebasan kita nyata, meski tidak mutlak.
Protes kita didengar, selama diucapkan oleh hati yang masih ingin mencari.
Malaikat tidak gelisah, manusia boleh.
Iblis adalah cermin agar kita curiga pada hidung sendiri ketika mulai terangkat.
Dan harapan—selalu—adalah doa yang belum sempat bersuara.

Ayat penutup yang menuntun ke tindakan:
﴿فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُۥ • وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُۥ﴾
“Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya ia akan melihat (balasannya); dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya ia akan melihat (balasannya).” (QS. Az-Zalzalah:7–8)
Hal kecil tetap diperhitungkan, jadi marilah mulai dari hal kecil.


Pesan kepada Pembaca

Jika Anda sedang marah kepada langit, saya mengerti.
Kalimat ini lahir juga dari gelombang yang sama.
Silakan marah, tapi jangan pergi.
Duduklah sebentar, tarik napas, dan ucapkan: “Kalau Engkau benar menghendaki aku ada, tuntunlah langkah yang satu ini.”
Tidak perlu heroik.
Cukup satu langkah yang jujur.
Besok, ulangi.
Kalau sempat, senyumlah pada diri sendiri—itu juga bentuk syukur yang pelan.

Ingatlah: menjadi “dikehendaki” berarti Anda berharga sebelum berguna.
Anda berharga bahkan ketika tidak ada yang bisa Anda beri, selain detak yang terus bertahan.
Dan kalau Anda ingin menjewer iblis hari ini, lakukan dengan hal paling sederhana: berkata benar ketika bisa berbohong, memaafkan ketika bisa membalas, menunggu ketika bisa menerobos.
Di sana Anda akan merasakan: rasa “dipaksa” mulai berubah menjadi rasa “dipeluk.”


✍️ Ditulis sebagai bagian dari rangkaian INTI – Interkoneksi Narasi Teknologi Intelektual.
0051 – Tuhan tidak butuh manusia, tapi Tuhan ingin manusia ada.