Siapa kita? Khalifah, yang belajar dari cahaya maupun kegelapan
Pernahkah kita bertanya bukan hanya siapa aku, tapi juga mengapa aku sadar aku bertanya? Dari sinilah perjalanan ini dimulai.
Kata “Hendak”: Apakah Takdir atau Penegasan?
Allah berfirman:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi.”
(QS. Al-Baqarah: 30)
Kata “hendak” di sini bukan sebatas keinginan yang belum terjadi. Ia adalah penegasan niat ilahiah dalam proyek besar penciptaan. Bahwa kehadiran manusia di bumi bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari skenario kesadaran.
Tapi mengapa malaikat mempertanyakannya?
“Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu?”
Karena mereka hanya mengenal ketaatan absolut. Sedangkan manusia… membawa paradoks.
Karena itu, menjadi khalifah berarti bukan hanya menjalankan perintah, tetapi juga memahami, mempertanyakan, dan menghadirkan rasa dalam setiap tindakan.
Sebagaimana firman Allah:
وَعَلَّمَ آدَمَ الْأَسْمَاءَ كُلَّهَا
(QS. Al-Baqarah: 31)
“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda) seluruhnya.”
Ini bukan sekadar penamaan benda, tapi pemahaman esensi, makna, bahkan potensi tersembunyi dari setiap sesuatu.
Malaikat dan Iblis: Dua Kutub, Satu Pelajaran
Dalam perenungan ini, kita akan membahas tentang malaikat dan iblis. Kedua entitas ini sangat patuh pada takdir mereka. Malaikat tak punya kehendak bebas, sedangkan iblis—dulu sangat taat—namun kemudian menolak satu perintah karena logika ketinggian dirinya.
Apakah iblis semata-mata jahat? Atau ia menjalankan fungsi oposisi agar manusia dapat menemukan kesadarannya?
“Dan Dia menciptakan jin dari nyala api.”
(QS. Ar-Rahman: 15)“Sesungguhnya setan itu melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.”
(QS. Al-A’raf: 27)
Jika manusia belajar dari cahaya, maka manusia juga harus mengenali sisi gelapnya. Karena tugasnya bukan hanya untuk taat, tetapi untuk memilih taat. Di sanalah letak keutamaannya dari malaikat.
Malaikat dan iblis bukan sekadar dua tokoh metafisik dalam narasi langit, tetapi dua kutub yang menghadirkan pelajaran berbeda dalam diri manusia.
Dari malaikat, manusia belajar ketaatan total—disiplin, tunduk, dan kesetiaan tanpa syarat pada kehendak Tuhan. Mereka adalah simbol dari kesucian naluri yang tak tergoyahkan, dari kehendak yang sepenuhnya sejalan dengan Nur Ilahi. Malaikat mengajarkan manusia untuk menjaga kesucian hati, konsistensi amal, dan keikhlasan dalam mengabdi.
Namun manusia tidak hanya belajar dari cahaya.
Dari iblis, manusia belajar tentang keakuan—tentang bagaimana kesombongan yang dibungkus logika bisa menjadi tirani yang paling halus. Iblis tidak menolak karena tak tahu, tapi karena merasa tahu lebih baik. Di sinilah manusia belajar satu hal yang paling penting: bahwa kejatuhan bisa datang dari dalam, bukan dari luar. Bahwa bahaya bukan hanya dari musuh, tapi dari ego yang tak disadari.
Iblis adalah cermin sisi gelap, yang tak bisa diabaikan. Ia menguji bukan untuk menghancurkan, tapi untuk menyaring. Maka, manusia tidak dituntut untuk menjadi malaikat—ia justru dimuliakan karena bisa memilih untuk tidak menjadi iblis.
Itulah kemuliaan manusia: bukan karena ia suci tanpa cela, tapi karena ia punya kehendak untuk kembali, meski pernah jatuh.
Dan mungkin, justru dari jatuh itulah manusia belajar tentang makna bangkit yang sejati.
ODGJ: Manusia yang Diserang dari Ruang yang Tak Terlihat
Bayangkan seseorang berjalan di tengah keramaian, tapi jiwanya sepi, pikirannya retak, dan dunianya penuh gema yang tak kita dengar. Mereka disebut ODGJ—Orang dengan Gangguan Jiwa. Namun, lebih dari sekadar label medis atau sosial, mereka adalah manusia yang tengah diserang dari ruang yang tak terlihat.
Pernahkah kita bertanya—mengapa mereka? Mengapa yang paling lemah, yang sudah kehilangan pegangan dan arah, justru menjadi sasaran empuk kekuatan kegelapan?
Iblis tidak selalu datang untuk menaklukkan yang kuat. Justru yang diserang pertama kali adalah mereka yang roboh—yang sudah tak mampu lagi berdiri, yang jiwanya retak oleh luka-luka dunia. Dari celah rasa yang paling sunyi, ia menyusup. Dari logika yang mulai samar, ia membisikkan ragu. Dari harapan yang hampir padam, ia meniupkan putus asa. Dan tak seorang pun melihatnya.
Apa yang terlihat oleh mata manusia hanyalah gejala. Mereka disebut gila, dijauhi, dan bahkan dilupakan. Padahal, bisa jadi mereka sedang berada dalam pertempuran terdalam antara cahaya dan gelap. Bukan karena mereka lemah, tapi karena mereka ditinggalkan sendirian di medan perang yang tak seorang pun paham bentuknya.
Dan di tengah semua itu, tersisa pertanyaan yang menggema dalam jiwa:
Siapa yang benar-benar mengerti mereka?
Siapa yang mau menanggung semua beban mereka?
Siapa yang masih percaya bahwa di balik keheningan mereka, ada doa yang tak terdengar—dan mungkin, ada pintu surga yang terbuka khusus untuk mereka?
Fenomena ini menyedihkan, bukan hanya karena derita mereka, tapi karena kita seringkali terlalu cepat menilai. Padahal, dimensi ini tidak sesederhana hitam dan putih. Ada jiwa-jiwa yang tak perlu dikutuk, hanya perlu dipeluk. Ada kesalahan yang tidak harus dihukum, hanya perlu dipahami. Dalam banyak kasus, mereka tidak kehilangan akal karena pilihan, tapi karena mereka kalah dalam perang yang bahkan tak pernah mereka sadari telah dimulai.
Dan bukankah tugas kita sebagai khalifah di bumi adalah menjadi jembatan antara kasih langit dan luka bumi? Untuk menyaksikan, bukan hanya dengan mata, tapi dengan hati.
Nabi ﷺ bersabda:
“Diangkat pena dari tiga golongan: dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari anak kecil sampai ia baligh, dan dari orang gila sampai ia sadar.”
(HR. Abu Dawud, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Artinya, orang gila tak dibebani dosa. Mereka telah dikeluarkan dari kategori mukallaf (yang dibebani syariat). Dalam sudut pandang langit, mereka punya “surga” sendiri. Mereka tidak akan dihisab seperti kita. Maka, betapa adilnya Tuhan… saat manusia menolak, Ia tetap memeluk.
Bukankah ini mengajarkan kita satu hal penting? Bahwa kelemahan tidak selalu hina. Bahwa kehilangan akal bukan berarti kehilangan ruh. Dan bahwa yang kita anggap “rusak” bisa jadi adalah jiwa yang sedang diuji untuk kelak duduk lebih dulu di taman-taman surga—sebelum kita yang menganggap diri waras ini sempat menyadari bahwa kitalah yang sebenarnya butuh disembuhkan.
Khalifah: Mereka yang Bisa Bertanya dan Menolak
Apa yang membedakan manusia dengan malaikat dan iblis? Manusia bisa bertanya. Bisa menolak. Bisa berprotes, bahkan kepada Tuhannya—seperti Nabi Ibrahim yang berkata:
“Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.”
(QS. Al-Baqarah: 260)
Pertanyaan manusia bukan karena tidak percaya, tapi karena ingin memahami. Ingin menyatu. Dan justru dari keberanian untuk bertanya inilah manusia tumbuh.
Sebagai khalifah, manusia tak hanya menjadi pemimpin bumi. Tapi juga jembatan antara langit dan bumi. Duta Kesadaran. Dan pada hari penghakiman kelak, kita akan bersaksi—atas sesama manusia.
Khalifah yang Bersaksi: Dari Awal Langit hingga Hari Akhir
Kita menyaksikan Tuhan saat ruh ditiupkan:
أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا بَلَىٰ شَهِدْنَا
(QS. Al-A’raf: 172)
“Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul, kami menjadi saksi.’”
Kesaksian ini tidak berakhir di langit. Ia menjelma dalam tugas. Dan di hari penghakiman, manusia juga bersaksi atas dirinya dan saudaranya.
Jadi, menjadi khalifah berarti menjadi jembatan kesaksian dari langit ke bumi, dari jiwa ke tubuh, dari nurani ke aksi.
Maka mungkin benar adanya?:
Khalifah adalah saksi vertikal (atas Tuhan) dan saksi horizontal (atas sesama manusia).
Disiplin Ilmu: Kesadaran dalam Sains dan Spiritualitas
Pertanyaan tentang kesadaran kini tak hanya milik agama. Neurosains, filsafat pikiran, hingga fisika kuantum mulai menyentuh batas-batas metafisik ini:
- Filsafat Kesadaran: Membahas qualia, pengalaman subjektif, dan apakah kesadaran bisa direduksi.
- Neurosains: Meneliti korelasi kesadaran dengan aktifitas otak (default mode network, thalamus, dll).
- Quantum Mind Theory: Seperti teori Orch-OR dari Penrose dan Hameroff yang melihat kemungkinan keterlibatan fenomena kuantum dalam kesadaran.
- Tasawuf dan Psikologi Transpersonal: Menyelami jiwa sebagai ruang ilahiah, dengan zikir dan kontemplasi sebagai metode.
Ilmu pengetahuan dan spiritualitas mulai konvergen.
Meringkas Tapi Tak Mengakhiri
Manusia bukan hanya makhluk. Ia adalah pesan.
Ia adalah utusan bumi yang membawa makna dari langit.
Ia bisa jatuh, tapi juga bisa naik melebihi malaikat.
Ia belajar dari cahaya dan kegelapan.
Ia tidak hanya menjalankan tugas, tapi menyadari tugas itu.
Dan itu semua membuat kita layak disebut: Khalifah.
✍️ Ditulis sebagai bagian dari rangkaian INTI – Interkoneksi Narasi Teknologi Intelektual.
0040 – Siapa kita? Khalifah, yang belajar dari cahaya maupun kegelapan.