Warisan yang Tak Tertulis

Ada warisan yang tak pernah tercatat dalam dokumen hukum, tak pernah diikat oleh notaris, dan tak pernah dibagikan secara adil oleh manusia. Ia bukan berupa rumah, bukan pula emas, sawah, atau harta yang tampak oleh mata. Warisan ini diam, mengendap, dan menyusup ke dalam pori jiwa. Dialah warisan jiwa.

Warisan ini turun bukan melalui surat wasiat, melainkan lewat caramu duduk merenung malam hari. Ia turun dalam caramu memahami dunia, mengamati manusia, menyimpulkan kehidupan, mencintai keheningan, dan meragukan yang sudah dianggap pasti. Bahkan warisan ini bisa muncul dalam caramu memilih diam saat semua ingin bicara.

Banyak orang hanya mewariskan tubuh—sel, gen, warna kulit. Tapi sedikit sekali yang sadar, bahwa jiwa pun bisa diwariskan. Atau lebih tepatnya: jiwa bisa beresonansi. Dan jika seseorang cukup peka, ia bisa menangkap nyala jiwa dari orang tuanya, bahkan meski tak pernah diajarkan secara eksplisit.

Aku dulu bertanya, apa mungkin jiwa juga diwariskan? Dan jawabannya tidak pernah hadir dalam kata, melainkan dalam pengenalan perlahan dari hidup itu sendiri. Warisan jiwa adalah arah yang kita ambil, luka yang kita sembuhkan, dan api yang kita jaga meskipun generasi sebelumnya telah letih memeliharanya.

Sebagian dari kita lahir dari ayah yang tak banyak bicara. Tapi apakah itu berarti tak ada cinta? Justru dalam diam itu ada bentuk cinta yang telah matang—cinta yang tak sibuk meyakinkan, tapi hadir sebagai ruang.

“Dan Dia (Allah) mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
وَعَلَّمَ الإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ
(QS. Al-‘Alaq: 5)

Aku tidak pernah diajarkan untuk berpikir sedalam ini. Tapi entah mengapa, aku tumbuh dengan obsesi yang tak kunjung padam untuk mencari akar dari segalanya—bahkan dari pikiran itu sendiri. Dan kini aku sadar: itu adalah bagian dari warisan jiwa yang tak terucap.


Tentang Ayah - Pria yang Tak Pernah Bicara

Ayahku bukan orang yang suka bicara banyak. Ia bukan tipe yang mengajari dengan tangan terbuka, melainkan dengan bahu yang terus bekerja, dan mata yang jarang menatap langsung tapi memantau dari jauh. Kami jarang sekali berbincang tentang hal-hal yang dalam. Bahkan saat aku kecil, aku tak tahu harus bicara apa dengannya.

Kadang aku merasa ayahku seperti gunung. Diam. Kokoh. Tapi menyimpan magma yang tak diketahui siapa pun. Dan seperti gunung, ia memberi tanpa mengumumkan. Memberi keteduhan, arah, dan jejak, tanpa pernah berkata: “Ini dariku.”

Kini setelah aku dewasa, aku paham…
Bisa jadi, ia tahu aku akan tumbuh menjadi seperti ini.
Bisa jadi, ia tahu bahwa aku akan terus bertanya, dan ia membiarkan dunia yang menjawab.
Bisa jadi, ia sadar bahwa jawabannya akan menghambat perjalananku. Maka ia memilih diam, agar aku belajar mendengarkan semesta.

Atau… mungkin tidak. Mungkin ia hanya lelah. Mungkin ia pun menyimpan luka. Mungkin cintanya tertahan oleh kisahnya sendiri yang tak sempat ia sembuhkan. Tapi meski begitu, ada satu hal yang tak pernah hilang: ia tetap pulang, dan aku tetap pulang kepadanya.

Aku tahu, ia tak bisa bicara dengan bahasa yang kupakai. Tapi ia tetap memanggilku dengan bahasa yang ia punya. Dan aku paham, cinta itu tak selalu dalam bentuk percakapan. Kadang, ia mengalir dalam diam. Seperti sungai yang tak pernah bersuara, tapi menumbuhkan sawah-sawah di sekitarnya.


Tentang Ayah - Pria yang Tak Pernah Minta Dimengerti

Ayah, sosok yang mungkin tak kita kenal utuh. Ia bangun pagi tanpa bertanya ingin, tidur larut tanpa sempat merenung. Banyak dari kita tumbuh dengan ibu sebagai tempat bertanya, sementara ayah menjadi tempat melihat.

Ayahku tak banyak bicara. Tapi kini aku mengerti, bahwa diamnya bukan karena tak tahu, tapi karena tak tahu harus menjelaskan dari mana. Ia lahir di dunia yang menuntut kekuatan, bukan kehalusan rasa. Maka semua yang lembut dalam dirinya perlahan mengeras oleh zaman.

Dan ketika aku bertanya hal yang paling mendasar—tentang hidup, tentang Tuhan, tentang aku sendiri—ayah seperti menghindar. Tapi mungkinkah sebenarnya ia menangis dalam batin, karena pertanyaanku menyentuh sisi dirinya yang lama ia kubur?

Kini, ketika aku menjawab pertanyaan adikku, aku tahu aku sedang memperbaiki percakapan yang dulu tak selesai antara aku dan ayahku.

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya…”
وَوَصَّيْنَا الإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَانًا
(QS. Al-Ahqaf: 15)


Cinta yang Tak Terucap - Tapi Tetap Mengalir di Dalam Darah

Cinta itu seperti oksigen dalam darah. Ia tak terlihat. Ia tak disadari keberadaannya. Tapi tanpanya, segalanya mati.

Banyak cinta dalam keluarga yang tak pernah diucapkan. Karena waktu, karena luka lama, karena malu, atau karena generasi yang tumbuh di antara perang dan kekurangan. Tapi bukan berarti cinta itu tak ada. Justru kadang, cinta paling murni adalah yang tak mampu diungkapkan oleh kata.

Itulah cinta dari ayahku.
Dan mungkin, dari banyak ayah di dunia ini.

Kini aku tahu, cinta itu bisa:

  • Tidak menjawab pertanyaanku, tapi tetap memberiku ruang untuk mencari jawaban.
  • Tidak memelukku, tapi selalu memastikan aku punya tempat untuk kembali.
  • Tidak memujiku, tapi diam-diam merasa bangga setiap kali aku tumbuh sedikit lebih kuat.

Aku mengalirkan cinta yang sama pada adikku. Ia sering bertanya, dan aku selalu mencoba menjawab dengan jujur dan mendalam. Kadang ia terdiam lama, lalu tersenyum. Dan aku tahu, resonansi itu berpindah. Bukan hanya lewat darah, tapi lewat pemahaman.


Ruh: Apakah Ia Diwariskan?

Tubuh diwariskan. Gen bisa ditelusuri. Tetapi bagaimana dengan ruh?

Ruh adalah misteri ilahiah. Ia bukan bagian dari dunia ini secara utuh, tapi ia tinggal di dalamnya. Ruh tidak diwariskan dalam bentuk seperti gen atau karakter. Tapi ruh bisa tersambung dan beresonansi. Dan itu cukup.

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي ۖ وَمَا أُوتِيتُم مِّنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakanlah: Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”
(QS Al-Isra: 85)

اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا ۖ فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَىٰ عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَىٰ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Allah mewafatkan jiwa (orang) ketika matinya dan (juga) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia menahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir.”
(QS Az-Zumar: 42)


Aku Bangga Pada Anak Kecil Itu

Aku bangga pada diriku yang kecil dulu.
Yang tak berhenti bertanya, meski tak ada jawaban.
Yang terus memeluk dunia dengan rasa penasaran, meski sering dianggap ngeyel.
Yang diam-diam mencatat dunia dalam pikirannya, menyimpannya seperti biji yang suatu saat akan tumbuh.

Kini aku tahu, semua pertanyaan yang tidak dijawab waktu kecil —
ternyata memang tidak bisa dijawab oleh manusia.
Tapi justru karena itulah aku tumbuh.
Aku terpaksa mencari sendiri.
Dan dalam pencarian itu, aku menemukan Allah.

Dan itu cukup.

“Aku dulu hanya anak kecil yang tak berhenti bertanya. Kini aku tahu, itu adalah fitrahku — seperti tertulis dalam Qur’an: فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا — dorongan untuk mencari, hingga kutemukan-Nya.”


📖 Surah Ar-Rum (30:30)

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًا ۚ فِطْرَتَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا ۚ
لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

Artinya:
Maka hadapkanlah wajahmu kepada agama yang lurus; (tetaplah di atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.


✍️ Ditulis sebagai bagian dari rangkaian INTI – Interkoneksi Narasi Teknologi Intelektual.
0029 – Cinta yang Tak Pernah Diucap, Tapi Tetap Mengalir di Dalam Darah.