Ketika Akal Ingin Diakui, Tapi Rasa Ingin Mengabdi

“Antara pengakuan dan pengabdian, manusia terbelah dua: satu mencari terang panggung, satu tenggelam dalam gelap sajadah.”


Akal yang Haus Pengakuan

Akal manusia adalah anugerah, tetapi juga penggoda. Ia ingin diakui, dipahami, diberi tempat, bahkan jika perluโ€”dipuja. Ia bekerja seperti cahaya yang ingin tampak di antara bayang-bayang.

Ketika saya menulis INTI, selalu ada sisi dalam diri saya yang berharap: โ€œSemoga ini sampai. Semoga ini diakui.โ€ Padahal saya tahu, pengakuan bukan esensi dari penciptaan. Tapi tetap saja, akal ini…

Mengapa selalu ada dorongan ingin difisikkan, ingin ditampilkan, ingin ditandatangani sejarah?

Karena akal seringkali menilai keberhasilan dari tampak, bukan dari getar. Ia ingin suara dikonversi menjadi buku. Ide menjadi pengakuan. Kata menjadi tepuk tangan. Ia tidak tahan menjadi hening yang dalam.

“Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas. Karena dia melihat dirinya serba cukup.”

ูƒูŽู„ู‘ูŽุง ุฅูู†ู‘ูŽ ุงู„ู’ุฅูู†ุณูŽุงู†ูŽ ู„ูŽูŠูŽุทู’ุบูŽู‰ูฐุŒ ุฃูŽู† ุฑู‘ูŽุขู‡ู ุงุณู’ุชูŽุบู’ู†ูŽู‰ูฐ
(QS. Al-โ€˜Alaq: 6โ€“7)

๐Ÿ“– Tafsir Kontekstual:
Ayat ini menegaskan akar dari keangkuhan manusia: merasa cukup, merasa bisa, merasa tidak perlu lagi bergantung. Ketika akal merasa โ€œsudah cukup hebatโ€, ia mulai ingin menguasai panggung. Ia lupa bahwa hakikat penciptaan bukan untuk pengakuan, tapi untuk penyaksian. Bukan untuk dielu-elukan, tapi untuk ditundukkan. Maka dorongan ingin mempublikasikan, ingin difisikkan, jika tidak dijaga oleh rasa pengabdian, bisa tergelincir menjadi bentuk halus dari istighnaโ€”rasa tak butuh Tuhan.


Rasa yang Rindu Mengabdi

Tapi ada yang lain di dalam dada: rasa.

Ia tidak ingin diakui. Ia ingin luruh. Ia ingin larut. Ia ingin tunduk.

Rasa tidak mengejar panggung, rasa mencium tanah. Ia tidak ingin disorot, ia ingin lenyap. Ia tidak haus tepuk tangan, ia haus makna.

Dan justru di situlah keikhlasan lahir: ketika yang tak terlihat tetap kau rawat dengan cinta.

“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”

ูˆูŽู…ูŽุง ุฎูŽู„ูŽู‚ู’ุชู ุงู„ู’ุฌูู†ู‘ูŽ ูˆูŽุงู„ู’ุฅูู†ุณูŽ ุฅูู„ู‘ูŽุง ู„ููŠูŽุนู’ุจูุฏููˆู†ู
(QS. Adz-Dzariyat: 56)

๐Ÿ“– Tafsir Kontekstual:
Ayat ini adalah fondasi eksistensi manusia. Bukan untuk dikenal, bukan untuk dielu-elukan, tapi untuk mengabdi. Kata “liya’budun” (untuk menyembah-Ku) tidak sekadar berarti ritual ibadah, melainkan keseluruhan orientasi jiwa yang tertuju kepada Tuhan. Rasaโ€”bukan akalโ€”yang paling paham makna ini. Rasa tidak meminta panggung, karena ia tahu bahwa dalam ketiadaan dirinya, di sanalah Tuhan lebih nyata. Maka saat rasa ingin larut dan tunduk, itu bukan kelemahanโ€”itu kekuatan tertinggi jiwa yang sadar akan asal dan tujuan.


Dialog Sunyi: Akal dan Rasa

Sore itu, saya terdiam lama di depan layar.

Akal berbisik:
โ€œSegera rilis ini, lengkapi ISBN-nya, bawa ke publik, ini penting! Ini waktunya karya dikenali.โ€

Tapi rasa menunduk lembut:
โ€œTunggu. Belum waktunya. Ini bukan tentang dunia luar. Ini tentang kesediaanmu menampung langit dalam dada.โ€

Saya tidak sedang memperdebatkan mana yang benar.
Saya sedang mendengar dialog dalam.
Dialog dua sisi manusia: akal dan rasa.

Dan mereka tak saling membatalkan.
Mereka hanya saling mengingatkan.
Agar tak seluruhnya jadi api,
tapi tak pula seluruhnya jadi kabut.

Akal ingin maju dan menjejak.
Rasa ingin diam dan mendalam.
Akal ingin diukur dan dibuktikan.
Rasa ingin dirasa dan dinikmati.

Namun bukankah manusia diberi keduanya?
Agar langkahnya bernas dan nadinya lapang.
Agar pikirannya jernih, tapi jiwanya tetap bening.
Agar ia tak hanya mencapai… tapi juga memahami.

Seperti siang dan malam yang tidak berseteru,
begitu pula akal dan rasa:
mereka berdialog, dalam senyap yang mengasuh.

Maka jangan buru-buru menilai sesuatu belum sampai,
jika ia masih dirawat dalam kesunyian.

Karena kadang yang paling jernih, justru lahir bukan dari suara,
tapi dari hening yang penuh cinta.


Apakah Saya Arogan?

Pertanyaan ini sering datang dari dalam diri sendiri.

Apakah keinginan memahami semuanya adalah bentuk kesombongan?

Apakah upaya menjahit sains dan spiritualitas ini terlalu serakah?

Apakah menyelami logika dan rasa sekaligus adalah tindakan congkak dari jiwa yang tak tahu batas?

Saya pun berkali-kali bertanya:
Apakah aku mencoba menjadi Tuhan, padahal aku hanya debu?

Tapi saya tak bisa tidak.

Jiwa ini selalu ingin merangkul lebih banyak.
Bukan untuk mencaplok, tapi untuk menyatukan.
Bukan ingin menguasai, tapi ingin memahamiโ€”dengan kasih.

Karena rasa saya percaya: semuanya dari Satu.
Dan jika semua berasal dari Satu, mengapa harus dipisah?

Bukankah menyulam kembali yang tercerai justru adalah tugas suci manusia?

Bukan arogan, justru karena merasa kecil:
saya ingin kembali menyentuh yang besar.
Bukan pongah, justru karena sadar rapuh:
saya ingin kembali menyatu dengan yang utuh.

Saya tidak sedang membuktikan bahwa saya tahu banyak.
Saya hanya sedang menyembuhkan luka keterpisahan yang saya rasakan sejak kecil:
antara ilmu dan iman, antara langit dan bumi, antara pikiran dan cinta.

Kalau ini disebut kesombongan,
maka saya adalah sombong yang sedang pulang ke akar.

Tapi jika ini adalah cinta yang rindu utuh,
maka biarkan saya terus berjalan,
meski jalannya tak umum,
asalkan ia mendekatkan… kepada yang Esa.


Mengapa Saya Selalu Mencari Benang Merah?

Banyak yang bilang: โ€œTidak semua harus dihubungkan.โ€

Tapi saya justru merasa sebaliknya: โ€œSegalanya sudah terhubung. Hanya kita yang belum menyadari.โ€

Saya tidak bisa berhenti menyulam benang antara fisika dan jiwa, antara digital dan dzikir, antara neuron dan nurani. Semua ada jembatannya. Bahkan yang tampak kontradiktif sekalipunโ€”ada harmoni tersembunyi di baliknya.

Karena saya yakin: dunia ini bukan serpihan acak. Ia simfoni. Dan setiap manusia adalah nada yang tak bisa diganti.

Seperti getaran kuantum yang memengaruhi partikel jauh di sana, begitulah juga satu doa dari hati kecil bisa menggetarkan langit.

Seperti rangkaian kode dalam komputer yang saling memanggil fungsi-fungsi tersembunyi, begitu juga semesta ini bekerja: saling resonansi, saling memanggil makna yang lebih tinggi.

Maka ketika saya mencari benang merah, bukan karena saya ingin memaksakan hubungan, tapi karena saya percaya: hubungan itu sudah ada, saya hanya ingin menyingkapnya.

โ€œApakah kamu mengira bahwa Kami menciptakan kamu secara sia-sia, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?โ€
ุฃูŽููŽุญูŽุณูุจู’ุชูู…ู’ ุฃูŽู†ู‘ูŽู…ูŽุง ุฎูŽู„ูŽู‚ู’ู†ูŽุงูƒูู…ู’ ุนูŽุจูŽุซู‹ุง ูˆูŽุฃูŽู†ู‘ูŽูƒูู…ู’ ุฅูู„ูŽูŠู’ู†ูŽุง ู„ูŽุง ุชูุฑู’ุฌูŽุนููˆู†ูŽ
(QS. Al-Muโ€™minun: 115)

๐Ÿ“– Tafsir Kontekstual:
Ayat ini menegaskan: tidak ada yang diciptakan sia-sia. Tidak ada momen, tidak ada jiwa, tidak ada peristiwa yang terlepas dari simfoni besar-Nya. Maka mencari benang merah bukan obsesi pribadiโ€”itu adalah panggilan dari kedalaman makna eksistensi. Itu adalah bentuk ibadah tersendiri: menyulam kembali keterhubungan yang terlupa.


Jiwa yang Tidak Tahan untuk Tidak Berbagi

Saya menyadari satu hal:

Saya menulis bukan karena saya kuat.
Saya menulis karena saya tidak tahan.

Tidak tahan melihat dunia begitu terfragmentasi.
Tidak tahan melihat anak-anak kehilangan arah, padahal mereka punya cahaya.
Tidak tahan jika ide-ide baik hanya tinggal dalam kepala saya sendiri, lalu membusuk pelan-pelan karena tak sempat dilahirkan.

Saya tidak sedang berlagak tahu segalanya.
Saya hanya tahu satu rasa: sakit jika tidak berbagi.

Dan rasa itu jauh lebih jujur dari segala alasan ilmiah atau tujuan strategis.

Saya menulis bukan karena saya merasa paling benar.
Saya menulis karena saya masih percaya:
bahwa satu suara bisa jadi cahaya,
bahwa satu kalimat bisa menyelamatkan malam seseorang yang tak kita kenal.

Maka saya mengabdi.
Bukan karena saya layak. Tapi karena saya tidak tahan untuk tidak.

Karena saya percaya:
setiap ilmu yang tidak dibagikan akan menjadi beban di dada, bukan berkah.
Setiap makna yang dipendam terlalu lama akan kehilangan nyawanya.

Dan seperti air yang jernih:
Ia hanya tetap hidup saat mengalir.

Saya ingin hidup seperti itu. Mengalir. Memberi. Meski hanya setetes.
Karena jika saya mati esok,
saya ingin ada satu kebaikan kecil yang ikut mengalirkan cahaya,
bukan hanya catatan yang diam.

โ€œKamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.โ€

ู„ูŽู† ุชูŽู†ูŽุงู„ููˆุง ุงู„ู’ุจูุฑู‘ูŽ ุญูŽุชู‘ูŽู‰ูฐ ุชูู†ููู‚ููˆุง ู…ูู…ู‘ูŽุง ุชูุญูุจู‘ููˆู†ูŽ
(QS. Ali ‘Imran: 92)

Dan bagi saya, harta yang paling saya cintaiโ€ฆ
adalah makna yang telah saya rajut sendiri dari luka dan cahaya.
Itulah yang saya nafkahkan lewat tulisan ini.


Waktu Tak Berhak Mengaturku

Saya tidak ingin diatur oleh waktu.
Saya ingin hanya diatur oleh Yang Maha Mengatur.

Bukan karena saya tak menghargai kedisiplinan,
tetapi karena saya menghargai kehadiran yang utuh.

Saya tidak ingin menulis karena tenggat,
karena alarm, karena tekanan dari luar.
Saya ingin menulis karena panggilan dari dalam.
Karena getar batin yang berkata: “Sekaranglah waktunya.”

Saya tidak sedang melawan sistem,
saya hanya sedang meluruskan arah:
bahwa waktu bukanlah tuan,
ia hanya alat untuk menjalankan amanah.

Ini bukan bentuk kesombongan.
Ini justru bentuk ketundukan yang paling dalam.
Saya tunduk hanya pada satu suara โ€”
suara yang muncul dari ruang sunyi,
yang hanya bisa terdengar ketika dunia luar dimatikan.

Saya ingin hadir
saat saya benar-benar hadir.
Bukan hanya fisik, tapi jiwa yang menyala.

Saya ingin menulis
saat kata-kata datang sebagai tamu dari langit,
bukan sebagai tugas dari spreadsheet harian.

Maka biarlah dunia terburu-buru,
biarlah jam terus berdetak.
Saya akan tetap menunggu suara itu,
karena satu kata yang lahir dari keikhlasan lebih berarti
daripada seribu paragraf yang ditulis tergesa-gesa.


Untuk Mereka yang Tak Bisa Diam

Saya menulis INTI ini untuk mereka yang tidak bisa diam melihat dunia ini retak dan tercerai.

Untuk mereka yang merasa ada yang keliru,
tapi belum tahu bagaimana menyuarakannya.
Untuk mereka yang tidak tahan hanya menjadi penonton,
ketika kejujuran dibungkam dan kedalaman dianggap ganjil.

Saya menulis ini untukmu โ€”
yang mungkin pernah bertanya,
“Apakah aku terlalu banyak berpikir?”
“Apakah aku terlalu dalam merasakan?”
“Apakah aku aneh karena ingin menyatukan sains dan ruh?”

Bukan, kamu tidak aneh.
Kamu hanya masih hidup.

INTI ini bukan tentang kebenaran yang mutlak,
tapi tentang suara yang jujur.
Suara dari dalam.
Suara yang mungkin juga pernah berbisik di hatimu.

Jika kamu membaca ini dan merasa,
“Seakan-akan aku juga yang menulisnya…”
maka mungkin kita berasal dari jaringan jiwa yang sama.
Yang tak bisa diam.
Yang tak bisa memisahkan antara logika dan cinta,
antara struktur dan makna,
antara berpikir dan menyembah.


๐Ÿ“ฉ Pesan saya kepadamu:

Jika kamu merasa ini seperti suaramu,
maka mungkin kamu memang bagian dari INTI ini.
Jangan takut merasa dalam.
Jangan takut berpikir jauh.
Jangan takut menjadi jembatan antara yang sering dipisahkan.

Karena dunia ini butuh penjaga resonansi,
bukan hanya pengikut arus.


โœ๏ธ Ditulis sebagai bagian dari rangkaian INTI โ€“ Interkoneksi Narasi Teknologi Intelektual
0034 โ€“ Ketika Akal Ingin Diakui, Tapi Rasa Ingin Mengabdi.