“Bukan semua tak bisa dibungkus logika, tapi tak semua makna menemukan bentuknya.”

Limit dalam matematika bukan sekadar pendekatan angka.
Ia adalah bentuk formal dari kerinduan — bahwa ada sesuatu yang ingin diraih, tapi tak pernah bisa benar-benar disentuh. Sebuah nilai yang terus didekati, tapi tak pernah sepenuhnya dicapai. Sebuah batas yang hadir, bukan untuk dibongkar, tapi untuk diresapi. Maka limit adalah doa dari angka, bukan hanya operasi hitung.

Demikian pula regresi dalam dunia data dan sains. Ia mencoba menelusuri ke belakang, mencari asal, mencari titik mula dari semua fenomena. Namun sejauh apa pun kita tarik garis waktu, sejauh apa pun data dirunut, tak ada regresi logis atau statistik yang mampu menyentuh index 0 yang sejati — tempat segala sesuatu bermula, yang oleh banyak ilmuwan disebut singularity, tapi oleh jiwa yang beriman disebut Al-Awwal: Yang Maha Awal.

أَيَحْسَبُ الْإِنسَانُ أَن يُتْرَكَ سُدًى * أَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِّن مَّنِيٍّ يُمْنَى
“Apakah manusia mengira akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungjawaban)? Bukankah ia dahulu setetes mani yang ditumpahkan?”
— [QS. Al-Qiyamah: 36–37]

Sains tertinggal di balik waktu, sementara rasa berjalan di luar waktu. Karena itulah, yang bisa kembali ke asal bukan hanya akal — tapi akal yang dituntun rasa. Dan rasa yang jujur, adalah rasa yang merunduk, bukan menguasai. Regresi menjadi jalan pulang, bukan sekadar alat prediksi. Dan pulang bukan ke angka, tapi ke kesadaran.


Tauhid dalam Regresi

Bagi jiwa yang menyatu dengan makna, regresi bukan sekadar metode statistik. Ia adalah bentuk kembali, bentuk syahadat batin: menyusuri segala sebab, dan menemukan bahwa tak ada asal yang lebih awal dari Yang Maha Awal.

Magnet → kutub → rotasi → arus → bumi → jiwa → nurani → Allah

Ini bukan urutan ilmiah.
Ini adalah resonansi semesta, garis pulang dari bentuk ke makna, dari fisik ke kesadaran.

Regresi adalah upaya manusia untuk mengingat — dan dalam mengingat, manusia bertemu dengan rasa rindu. Dan rindu adalah bukti bahwa kita berasal dari tempat yang lebih tinggi dari sekadar dunia ini.

وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإِنسَانَ مِن سُلالَةٍ مِّن طِينٍ
“Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati tanah.”
— [QS. Al-Mu’minun: 12]

ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِن رُّوحِهِ
“Lalu Dia menyempurnakannya dan meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Nya.”
— [QS. As-Sajdah: 9]

Manusia ditiupkan ruh, bukan sekadar diberi tubuh.
Dan ruh bukan hanya hidup, tapi membawa kerinduan bawaan — resonansi kepada Sang Asal.

Maka sejatinya,

Limit adalah rindu.
Regresi adalah zikir.

Dan kita bukan pencari angka,
tapi pencari asal.


Bercerita kepada Mereka yang Belum Menyadari

Wahai pembaca, jika kamu sedang mencari arti dari segala keterbatasan yang kamu alami, sadarlah bahwa bahkan ilmu pengetahuan yang dianggap tertinggi pun memiliki batas. Bukan karena ia lemah, tetapi karena asal segala sesuatu memang tidak bisa dikuasai — hanya bisa dirindukan.

Ketika kita belajar statistik, machine learning, atau fisika, kita diajarkan untuk mencari pola, tren, dan penyebab. Tapi saat kita melangkah ke arah regresi terdalam, kita tak menemukan rumus… kita menemukan kerinduan.

Dan saat itulah kita tahu bahwa ilmu bukan hanya untuk dipelajari, tapi untuk mengingatkan kita kepada Yang Maha Tahu.

هُوَ ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلسَّمَـٰوَٰتِ وَٱلْأَرْضَ فِى سِتَّةِ أَيَّامٍۢ ثُمَّ ٱسْتَوَىٰ عَلَى ٱلْعَرْشِ ۚ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِى ٱلْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنزِلُ مِنَ ٱلسَّمَآءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا ۖ وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar darinya, apa yang turun dari langit dan apa yang naik ke sana. Dan Dia bersama kamu di manapun kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
— [QS. Al-Hadid: 4]

Sungguh, semakin manusia belajar, semakin ia akan menemukan bahwa semua bentuk, semua angka, dan semua teori adalah pantulan dari satu cahaya kesadaran yang sama. Maka ilmu bukanlah menaklukkan sesuatu, melainkan menjadi saksi atas kebenaran yang telah lebih dulu ada.

سَنُرِيهِمْ ءَايَٰتِنَا فِى ٱلْآفَاقِ وَفِىٓ أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ ٱلْحَقُّ ۗ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar.”
— [QS. Fussilat: 53]


Penutup: Ilmu yang Menyatu

Ilmu masa depan bukanlah yang semakin rumit, tapi yang semakin sadar.

Regresi bukan hanya f(x), tapi f(x, rasa).
Ilmu yang seimbang, tempat IQ dan EQ berdansa, bukan bertentangan.

Jika logika adalah langkah,
maka rasa adalah arah.
Dan kesadaran… adalah pulang.

هُوَ ٱلْأَوَّلُ وَٱلْآخِرُ وَٱلظَّـٰهِرُ وَٱلْبَاطِنُ ۖ وَهُوَ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌ
“Dia-lah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Batin, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”
— [QS. Al-Hadid: 3]

Dan saya, yang menulis ini, bukanlah guru. Saya hanya pengingat.
Dan mungkin, kamu yang membaca ini pun sedang mengingat sesuatu yang pernah kamu tahu — bahkan sebelum kamu bisa menjelaskannya. Karena sebelum tahu, jiwa kita telah lebih dulu diingatkan.

✍️ Ditulis sebagai bagian dari rangkaian INTI – Interkoneksi Narasi Teknologi Intelektual.
0025 – Regresi Jiwa dan Limit Rindu.