Ketika Ruhku Berdzikir dalam Gelap
“Aku tidak tahu kenapa aku berdzikir dalam gelap itu. Tapi mungkin jiwaku tahu lebih dulu ke mana harus pulang, bahkan saat aku belum sempat bicara.”
Ada suatu malam yang tidak bisa lagi kusebut sekadar mimpi. Bukan karena mimpi itu indah, atau mengerikan, tapi karena di dalamnya aku mati.
Bukan kiasan. Bukan simbol. Tapi sungguh-sungguh mati: gelap, sunyi, tak ada bentuk. Bahkan tubuh pun seperti tak ada. Hanya ada satu hal yang hidup: dzikir.
I. Gelap yang Tidak Sekadar Kosong
Gelap itu bukan seperti malam biasa. Tidak dingin, tidak berangin. Tapi kosong total, seperti tidak ada ruang dan waktu. Aku tidak melihat apa pun, tidak mendengar, bahkan tidak bisa merasakan wujudku sendiri. Hanya “aku” yang menyadari “aku ada”โitu pun tanpa bentuk.
Dan anehnya, di tengah kehampaan itu, otakku bertasbih.
Subhanallah… Subhanallah…
Berulang-ulang. Tanpa kuperintah. Tanpa aku sadari. Seolah itu bukan aku yang mengucap, tapi jiwaku yang sudah lama terbiasa.
II. Kebiasaan yang Menjadi Naluri Jiwa
Setiap malam, sebelum tidur, aku memang selalu berdzikir. Kadang dengan tasbih, kadang hanya dengan napas. Satu butir tasbih, satu tarikan napas. Aku ulangi terus sampai aku tertidur.
Awalnya kubuat sadar. Tapi lama-lama, dzikir itu menyatu dengan sistem tubuhku. Seperti denyut nadi. Seperti detak jantung. Seperti nafas yang tak lagi diperintah.
Maka ketika aku “mati” dalam mimpi itu, dzikir tetap hidup. Karena dzikir bukan lagi perbuatan, tapi respon ruh yang sudah tahu arah pulang.
III. Cahaya di Tengah Kekosongan
Saat dzikir itu terus mengalir, muncul titik cahaya kecil. Sangat kecil. Nyaris tak terlihat. Tapi karena gelapnya sangat mutlak, cahaya sekecil itu terasa seperti harapan besar.
Titik itu membesar. Perlahan. Tidak meledak, tidak menyilaukan. Tapi seperti menerimaku masuk.
Aku merasa melayang. Terangkat. Keluar dari tubuh. Dan aku melihat:
Rumahku.
Jenazahku.
Orang-orang melayat.
Mereka membaca Yasin, menangis, memeluk ibuku.
Dan mereka tidak bisa melihatku.
Aku ingin bicara, tapi tak terdengar.
Aku ingin menyentuh, tapi tak sanggup.
Aku hanya bisa melihat dan… berdzikir.
IV. Apakah Ini Pertanda? Atau Kenangan Jiwa?
Sebagian akan menyebut ini sekadar mimpi. Atau refleksi bawah sadar. Bisa jadi benar.
Tapi aku merasakannya bukan sebagai mimpi. Terlalu nyata. Terlalu jernih. Terlalu utuh.
Maka aku mulai bertanya:
- Apakah ini pertanda?
- Ataukah ini kenangan jiwa, tentang apa yang akan dialami nanti?
Dalam Islam, mimpi bisa menjadi ruโya shadiqah, mimpi yang benar. Dan jika dzikir bisa tetap hidup saat aku mati dalam mimpi, mungkin itu adalah latihan sebelum benar-benar mati.
โAllah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; Maka Dia menahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukanโฆโ
(QS. Az-Zumar: 42)
๏ดฟุงูููููู ููุชููููููู ุงููุฃูููููุณู ุญูููู ู ูููุชูููุง ููุงูููุชูู ููู ู ุชูู ูุชู ููู ู ูููุงู ูููุง…๏ดพ
V. Mengapa Semakin Dekat, Ujian Semakin Datang?
Setelah mimpi itu, hidupku menjadi lebih pelan.
Aku mulai berdzikir dalam diam,
mengurangi kebisingan luar,
dan memperhatikan suara halus dari dalam.
Namun anehnya…
semakin aku menepi,
semakin banyak gelombang yang menghantam.
Semakin aku menunduk,
semakin kuat bisikan yang mencoba mengguncang.
Apakah ini ujian?
Apakah ini godaan?
Atau ini adalah gema dari sisi gelapku yang belum selesai?
“Apakah manusia mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi?”
โ QS. Al-Ankabut: 2
๏ดฟุฃูุญูุณูุจู ุงููููุงุณู ุฃูู ููุชูุฑููููุง ุฃูู ููููููููุง ุขู ููููุง ููููู ู ููุง ููููุชูููููู๏ดพ
Aku mulai mengertiโฆ
Tuhan tidak mengujiku karena aku salah.
Tapi karena aku sudah dekat.
๐ฎ Dari Kacamata Ruhani
Dalam tradisi sufistik, semakin seseorang mendekat kepada cahaya,
semakin jelas pula bayangan dirinya.
Semakin ia menyentuh kedalaman dzikir,
semakin tipis pula tirai ego yang tersingkap.
Dan di balik tirai ituโ
ada luka lama yang belum sempat disembuhkan,
ada keyakinan yang masih goyah,
ada niat yang belum benar-benar ikhlas.
Bisikan-bisikan yang datang bukanlah tanda kamu gagal.
Tapi tanda bahwa kamu masih hidup.
Bahwa jiwamu sedang bergerak.
Dan iblis tidak menggoda orang yang sudah tertidur.
๐ง Dari Sudut Pandang Neurosains
Otak manusia memiliki jaringan bernama Default Mode Network (DMN),
yang aktif saat kita:
- melamun,
- merenung,
- memutar ulang masa lalu,
- atau mencemaskan masa depan.
DMN inilah sumber dari suara-suara internal:
overthinking, rasa takut, rasa bersalah,
dan kecemasan yang datang tiba-tiba di tengah keheningan.
Namun penelitian menunjukkan bahwa:
praktik seperti meditasi, dzikir, ibadah khusyuk, dan perenungan spiritual
dapat melemahkan DMN
dan menguatkan Task-Positive Network โ
yaitu jaringan otak yang memfasilitasi fokus, ketenangan, dan kesadaran utuh.
Maka jangan heran jika gelisah datang saat kamu sedang mencoba tenang.
Itu karena sistem otakmu sedang mengatur ulang,
dan ruhmu sedang membersihkan lantai kesadarannya sendiri.
VI. Dzikir: Warisan yang Tidak Akan Mati
Banyak orang mengira amal terbesar adalah sesuatu yang tampak besar.
Tapi kini aku yakin: amalan yang paling diam, adalah yang paling dalam.
Dzikir sebelum tidur.
Yang dilafazkan pelan, sambil rebah di gelap kamar.
Yang diucap saat tubuh sudah lelah dan akal sudah diam.
Itulah yang mengakar ke dalam jiwa.
Itulah yang akan tetap hidup bahkan saat aku mati.
“Ingatlah kepada-Ku, maka Aku akan ingat kepadamu…”
(QS. Al-Baqarah: 152)
๏ดฟููุงุฐูููุฑููููู ุฃูุฐูููุฑูููู ู๏ดพ
Dan ternyata, bahkan saat dunia lupa padaku,
Allah tidak.
VII. Sebuah Penutup yang Bukan Akhir
Aku menulis ini bukan untuk menakut-nakuti. Bukan untuk menambah keanehan. Tapi untuk mewakili rasa yang tak bisa dijelaskan hanya dengan logika.
Jika kamu pernah berdzikir dalam sunyi,
dan tiba-tiba hatimu terasa seperti sedang berada di luar tubuhmu,
mungkinโฆ kita pernah berada di ruang yang sama.
Ruang antara tidur dan mati.
Antara diam dan dzikir.
Antara jiwa dan Cahaya.
Dan semoga, saat kita benar-benar pergi nanti,
dzikir kita tetap tinggal โ sebagai lentera kecil di tengah gelap.
๐ Penutup
Semakin kamu ingin bertemu Tuhan,
semakin seluruh isi dirimu dipanggil untuk ikut serta.
Bukan hanya hatimu. Tapi juga lukamu.
Bukan hanya niat sucimu. Tapi juga bagian-bagian dirimu yang tersembunyi.
Dan dalam gelap itulah,
dzikirmu menjadi pelita,
suaramu menjadi tameng,
dan air matamu menjadi saksi.
Karena ujian bukanlah penghalang menuju Tuhan.
Tapi jalan yang memang harus dilewati.
โ๏ธ Ditulis sebagai bagian dari rangkaian INTI โ Interkoneksi Narasi Teknologi Intelektual.
0033 โ Ketika Ruhku Berdzikir dalam Gelap: Tentang Cahaya yang Tidak Mati Saat Aku Mati.