Menari di Antara Waras dan Gila
Ada kalanya hidup manusia menempatkan kita di tepi jurang.
Di satu sisi ada “waras” – akal sehat yang rapi, teratur, logis.
Di sisi lain ada “gila” – kekacauan batin, tumpahan rasa, gejolak yang tak bisa dijelaskan.
Namun, apakah dua sisi itu benar-benar musuh?
Atau justru panggung tarian, di mana manusia menari di atasnya, bukan sekadar jatuh di salah satunya?
Keresahan: Mengapa Banyak yang Tersandung?
Aku memulai dari keresahan yang pernah muncul:
Kenapa semakin dewasa, semakin banyak manusia yang berisiko “gila”?
Apakah karena hidup semakin berat, akal semakin dibebani, dan rasa tak lagi punya ruang?
Ada istilah medis yang menjelaskan:
gangguan mood berat, psikosis, depresi mendalam, burn-out, disorientasi kognitif, atau reaksi akut stres.
Namun di balik istilah itu, aku bertanya: bukankah semua itu ekspresi sejati manusia?
- Mengeluh, menangis, protes, bahkan merasa putus asa—itu bukan kelemahan mutlak, melainkan fitur manusia.
- Justru aneh bila manusia tak lagi merasakan semua itu.
- Artinya, keluhan dan rasa sakit pun adalah cermin kehidupan.
Lalu mengapa banyak yang buru-buru menghakimi?
Seolah “gila” adalah dosa, padahal kadang ia hanya tanda tubuh dan jiwa sedang berteriak minta istirahat.
Refleksi: Aku Tidak Dibutuhkan, Tapi Diinginkan Ada
Dalam perjalanan ini aku sadar satu hal:
Aku tidak dibutuhkan oleh-Nya, tapi aku diinginkan ada oleh-Nya.
Kata ini sederhana, namun mengandung gemuruh.
Ia mengajarkan bahwa manusia memang rapuh, kecil, tidak penting bagi alam semesta.
Namun, di mata Yang Maha Awal, keberadaan kita bukan sekadar kebetulan.
Kita diinginkan hadir. Kita dipanggil menari.
Allah ﷻ berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Wa mā khalaqtul-jinna wal-insa illā liya‘budūn“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”
(QS. Adz-Dzariyat: 56)
Ayat ini bukan sekadar penjelasan fungsi.
Ia adalah undangan: kita ada karena diinginkan.
Bukan karena dunia butuh, tapi karena Allah ingin kita ada.
Kesadaran: Menari di Atas Akal dan Rasa
Di titik ini aku belajar: kunci bukanlah menolak “waras” atau “gila”.
Kunci adalah menari di atas keduanya.
- Saat akal terlalu letih, biarkan rasa yang menari.
- Saat rasa tersesat, biarkan akal menjadi lantai pijakan.
- Keduanya bukan musuh, melainkan pasangan tari yang saling melengkapi.
Seperti cahaya dan bayangan: tak pernah benar-benar bisa dipisahkan.
Allah ﷻ mengingatkan dalam ayat lain:
وَفِي أَنفُسِكُمْ ۚ أَفَلَا تُبْصِرُونَ
Wa fī anfusikum afalā tubṣirūn“Dan (juga) pada dirimu sendiri. Maka apakah kamu tidak memperhatikan?”
(QS. Adz-Dzariyat: 21)
Ayat ini mengundang kita menoleh ke dalam: di tubuh, di jiwa, di akal, di rasa—di situlah panggung tarian kesadaran.
Menemukan Jangkar: Kesatuan dengan Yang Maha Awal
Ketika hidup kewalahan, ketika akal dan rasa saling bertabrakan,
maka satu-satunya jangkar adalah kembali ke Yang Maha Awal.
- Dialah permulaan segala tarian.
- Dialah lantai tempat kaki berpijak.
- Dialah musik yang tak pernah berhenti bergetar dalam dada.
Kembali ke-Nya bukan sekadar ritual formal, melainkan kesadaran penuh bahwa:
semua keresahan adalah tanda, semua rasa adalah jalan, semua kegilaan pun bisa jadi doa.
Allah ﷻ berfirman:
اللَّهُ نُورُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
Allāhu nūrus-samāwāti wal-arḍ“Allah adalah cahaya langit dan bumi.”
(QS. An-Nur: 35)
Jika kita tersesat, cahaya ini selalu menjadi jangkar.
Jika kita gila, cahaya ini tetap memeluk.
Jika kita waras, cahaya ini menuntun.
Pesan untuk Pembaca
Wahai pembaca, mungkin engkau pernah merasa berdiri di batas waras dan gila.
Mungkin engkau pernah merasa sendirian, atau seakan dunia ini tak lagi punya tempat untukmu.
Izinkan aku mengatakan: itu bukan tanda akhir, itu tanda kehidupan.
Jangan buru-buru menghakimi dirimu sendiri. Jangan merasa engkau gagal hanya karena menangis atau teriak.
Ingatlah:
- Engkau tidak dibutuhkan oleh semesta, tapi engkau diinginkan oleh Pencipta.
- Engkau bukan mesin, engkau jiwa yang diundang menari.
- Waras dan gila hanyalah panggung; kesadaran adalah tariannya.
Maka, teruslah menari—meski di atas jurang.
Karena ada cahaya yang selalu memelukmu, bahkan ketika semua merasa meninggalkanmu.
✍️ Ditulis sebagai bagian dari rangkaian INTI – Interkoneksi Narasi Teknologi Intelektual.
0053 – Menari di Antara Waras dan Gila: Saat Kesadaran Mencari Jangkar pada Yang Maha Awal.