Bersaksi dengan Jiwa dan Raga
1. Mengapa Topik Ini Layak Dirasakan
INTI ini tidak berbicara kepada kelompok, golongan, atau sistem kepercayaan tertentu.
Ia berbicara kepada siapa saja yang pernah diam-diam bertanya dalam dirinya sendiri:
“Apakah yang kulakukan ini sungguh datang dari hatiku?”
Ini tentang kesaksian batin, bukan sekadar ucapan ritual.
Tentang sebuah kesadaran yang merindukan pengalaman langsung terhadap kebenaran—apa pun bentuk dan nama yang manusia berikan padanya.
Manusia telah mengucap banyak janji, sumpah, dan kalimat sakral—dalam berbagai bentuk bahasa, ibadah, dan laku budaya.
Tapi sedikit yang benar-benar menyaksikan.
Sedikit yang bertanya:
Apa makna “bersaksi”? Apakah aku percaya karena aku diberi tahu, atau karena aku sungguh telah mengalami?
Kita hidup di zaman di mana iman sering diwariskan, bukan ditemukan.
Diajarkan untuk mengucap, tapi jarang diajak untuk merasakan.
Diminta percaya, tapi tak diberi waktu untuk menyaksikan.
Dan di tengah itu semua, muncul bisikan yang sangat manusiawi:
“Tuhan, Engkau belum beri aku kesempatan. Aku belum melihat apa-apa.
Bagaimana aku tahu kalau Engkau benar, maha penyayang, maha asih, maha adil?”
Itu bukan pemberontakan.
Itu kejujuran eksistensial.
Dan kejujuran seperti itu—adalah awal dari kesaksian yang sejati.
Kesaksian bukan hafalan.
Ia adalah pengalaman total jiwa dan raga.
Karena hanya yang pernah melihat, yang bisa bersaksi.
Dan hanya yang pernah bersaksi, yang bisa mengabdi.
2. Syahadat Adalah Kesempatan Menyaksikan
“Aku bersaksi…” artinya aku telah melihat, merasakan, mengalami.
Hidup ini adalah panggung penyaksian.
Di dalam cinta dan sakitnya, dalam sains dan keindahannya, dalam waktu dan diamnya, kita diberi kesempatan untuk menyaksikan Allah.
Dalam bahasa lain:
“Hidup adalah ladang syahadat.”
Dan seperti ladang, ada yang memilih untuk berjalan di atasnya dengan akal, ada yang dengan rasa, ada yang dengan sains, ada yang lewat seni, IT, musik, matematika, puisi, kerja, bahkan kesendirian.
3. Bersyahadat Tidak Hanya Lewat Lisan
Semua makhluk bersyahadat dengan cara mereka masing-masing. Angin, tanah, pohon, dan cahaya.
“Yusabbihu lillahi maa fis-samaawaati wa maa fil-ard…”
“Bertasbih kepada Allah apa yang di langit dan di bumi…” (QS Al-Jumu’ah: 1)
Dan manusia? Kita bersyahadat lewat:
- Akal yang mencari
- Rasa yang mengabdi
- Karya yang membuktikan
- Kelemahan yang memanggil
Maka setiap bidang kehidupan adalah pintu syahadat. Orang yang mencipta musik indah dan berkata, “Ini bukan dari aku, tapi dari Yang Maha Sumber.” — dia sedang bersyahadat.
Ilmuwan yang berkata, “Semakin dalam aku meneliti semesta, semakin aku sadar bahwa aku kecil…” — dia sedang bersyahadat.
Orang IT yang membangun sistem rumit dan berkata, “Tak ada sistem seindah sistem alam…” — dia sedang bersyahadat.
Maka bersyahadat bukan hanya satu kalimat, tapi sejuta bentuk pengakuan dari jiwa dan raga.
4. Tapi Mengapa Banyak yang Berhenti di Kalimat Pertama?
“La ilaha illallah.”
“Tiada Tuhan selain Allah.”
Sebagian besar dari kita berhenti di titik ini. Padahal ada kelanjutannya:
“Muhammadur Rasulullah.”
“Dan Muhammad adalah utusan Allah.”
Mengapa ini penting? Karena Muhammad adalah jembatan realitas.
Ia adalah contoh manusiawi dari hidup yang telah menyaksikan.
Kita tak bisa menyentuh Tuhan langsung. Tapi kita bisa melihat bagaimana Muhammad hidup — sebagai cinta yang bergerak, keadilan yang menangis, dan kasih yang berani memaafkan.
Tanpa mengenali Muhammad, syahadat kita akan melayang tanpa arah.
Dengan mengenali beliau, syahadat kita menjadi tanah untuk berpijak.
5. Disiplin Ilmu yang Mempelajarinya
Topik tentang kesaksian jiwa dan raga bukan hanya pengalaman spiritual individual, tetapi juga telah menjadi objek kajian dalam berbagai disiplin ilmu yang serius dan mendalam:
-
🧠 Fenomenologi Kesadaran
Diperkenalkan oleh Edmund Husserl dan dikembangkan oleh Maurice Merleau-Ponty, cabang filsafat ini menekankan bahwa pengalaman langsung (first-person experience) adalah sumber pengetahuan yang valid. Dalam konteks syahadat, ini berarti seseorang baru benar-benar “bersaksi” jika ia telah mengalami, bukan hanya mendengar atau membaca. -
📿 Filsafat Eksistensial Islam
Tokoh seperti Seyyed Hossein Nasr, M. Naquib al-Attas, dan Muhammad Iqbal menegaskan bahwa iman bukan hanya pernyataan doktrinal, tetapi juga sebuah proses kesadaran eksistensial. Manusia menyadari kehadiran Ilahi melalui pencarian makna, pengalaman hidup, dan kesadaran akan keterbatasannya. -
🕯️ Teologi Spiritualitas (Tasawuf Intelektual)
Dalam tradisi Al-Ghazali, Imam Ja’far ash-Shadiq, dan Bediuzzaman Said Nursi, ada pendekatan spiritual-teologis yang menekankan bahwa penyaksian terhadap Tuhan membutuhkan keseimbangan antara akal, hati, dan rasa takut yang penuh cinta. Syahadat sejati hanya muncul saat jiwa telah mengenal, bukan hanya mengetahui. -
🧘♂️ Psikologi Transpersonal
Cabang psikologi ini mempelajari pengalaman spiritual, mistik, dan puncak kesadaran manusia. Tokohnya seperti Ken Wilber dan Stanislav Grof menyatakan bahwa manusia mampu mengalami “kesatuan dengan realitas ilahi” melalui meditasi, kesadaran mendalam, dan krisis eksistensial—semua itu bentuk dari ‘kesaksian’. -
📚 Kognisi Ilahi (Islamic Epistemology)
Dalam epistemologi Islam klasik, seperti yang diajarkan oleh Ibn Sina, Fakhruddin ar-Razi, dan Al-Attas, terdapat gagasan bahwa kebenaran tidak hanya dicapai oleh akal, tetapi juga melalui hati (qalb
) dan jiwa (nafs
). Syahadat dipahami sebagai bentuk tertinggi dari epistemologi spiritual.
Kesimpulannya, syahadat bukan hanya produk hukum (fiqh
), tetapi juga hasil dari perjalanan pengetahuan (epistemologi
), pencarian makna (eksistensialisme
), dan pengalaman batin (spiritualitas
).
Syahadat adalah filsafat hidup yang dijalani, bukan sekadar kalimat yang dihafal.
6. Ayat-Ayat Kesaksian
Al-Qur’an telah menyentuh tema kesaksian jiwa dan raga dalam banyak bentuk. Berikut beberapa ayat yang sangat relevan dan menguatkan apa yang kita rasakan:
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنفُسِهِمْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ
“Kami akan perlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di cakrawala dan dalam diri mereka sendiri, sampai jelas bagi mereka bahwa (Al-Qur’an) itu benar.”
(QS Fussilat: 53)أَفَلَا تَتَفَكَّرُونَ
“Tidakkah kalian berpikir?”
(QS Al-Baqarah: 44)إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ … لَآيَاتٍ لِّأُولِي الْأَلْبَابِ
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi… terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.”
(QS Ali Imran: 190)الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
“Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang paling baik amalnya.”
(QS Al-Mulk: 2)قَالَ أَلَمْ أَقُل لَّكَ إِنَّكَ لَن تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا
“Dia (Khidir) berkata: Bukankah sudah kukatakan bahwa kamu tidak akan sanggup bersabar bersamaku?”
(QS Al-Kahfi: 72)
(Menunjukkan bahwa ada pengetahuan yang hanya bisa diterima lewat perjalanan batin, bukan logika biasa)
Ayat-ayat ini bukan sekadar kutipan sakral yang dibacakan di ruang ibadah,
tapi merupakan undangan terbuka dari Tuhan kepada jiwa manusia
untuk menyaksikan, merenung, dan menemukan-Nya sendiri —
di cakrawala luar, maupun dalam kedalaman batin sendiri.
Setiap ayat ini adalah panggilan diam,
agar manusia tidak hanya menjadi pengucap,
tetapi saksi.
Sebab hanya yang pernah melihat, yang bisa bersaksi.
Dan hanya yang pernah bersaksi, yang bisa mencintai dengan utuh.
7. Akhirnya… Saya Bersaksi
Saya bersaksi, bukan karena saya tahu segalanya.
Saya bersaksi, bukan karena saya suci.
Saya bersaksi… karena saya telah hidup.
Saya telah jatuh, dan merasakan tangan tak terlihat mengangkat saya.
Saya telah mencinta, dan tahu bahwa itu bukan datang dari saya.
Saya telah melihat alam, dan tahu bahwa ini terlalu sempurna untuk disebut kebetulan.
Maka saya bersaksi —
dengan jiwa dan raga.
Bahwa Dia Maha benar.
Bahwa Dia Maha Penyayang.
Bahwa Dia Maha Asih.
Bahwa Dia Maha Hidup.
Bahwa Dia Maha Kaya.
Bahwa Dia Maha Mengatur.
Bahwa Dia Maha Teliti.
Bahwa Dia Maha Bijaksana.
Bahwa Dia Maha Esa.
Bahwa Dia Maha Indah.
Dan bahwa Muhammad… adalah utusan cinta yang menjembatani langit dan bumi.
“Qul in kuntum tuhibbuunallaaha fattabi’uunii yuhbibkumullaah.”
“Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mencintaimu.” (QS Ali Imran: 31)
Maka kini aku tahu:
Syahadat bukan warisan. Tapi kesaksian.
Dan aku telah bersaksi.
✍️ Ditulis sebagai bagian dari rangkaian INTI – Interkoneksi Narasi Teknologi Intelektual.
0037 – Bersaksi dengan Jiwa dan Raga: Saat Kesadaran Menemukan Lidahnya.